Jumat, Agustus 28, 2009

Faulks Minta Maaf kepada Umat Islam

By Republika Newsroom
Selasa, 25 Agustus 2009 pukul 11:34:00


LONDON--Novelis terkenal asal Inggris, Sebastian Faulks, Senin (24/8), kemarin, meminta maaf secara terbuka terkait pernyataannya tentang Alquran yang telah menyulut kemarahan umat Islam. Faulks mengaku pernyataanya telah dikutip secara salah.


"Saya minta maaf tanpa syarat kepada siapa pun yang merasa tersinggung karena komentar saya yang ditelanjangi dari konteks," kata Faulks kepada The Guardian.

"Saya minta maaf pada siapa pun, teman-teman Muslim saya dan para pembaca atas segala sesuatu yang terdengar kasar dan tidak toleran,""

Permintaan maaf ini dia lontarkan sehari setelah wawancaranya dengan Sunday Times yang mengudang kontroversi di mana Faulks menggambarkan Alquran sebagai "buku yang menyedihkan".

"Itu hanya ocehan orang gila," kata Faulks dalam wawancara tersebut.

"Ini sangat satu dimensi, dan orang-orang berbicara tentang keindahan bahasa Arab dan sebagainya, namun terjemahan bahasa Inggris yang saya baca, dari sudut pandang sastra, sangat mengecewakan."

Faulks juga mengatakan Alquran "tidak punya dimensi etik" seperti Perjanjian Baru dan "tidak ada rencana baru dalam hidup."

Namun Faulks mengklaim pernyataanya sudah dikutip di luar konteks oleh Sunday Times untuk menimbulkan skandal baru yang memalukan dirinya.

Faulks juga mengaku, setelah membaca Alquran dan beberapa sejarah tentang Islam dalam penelitiannya, dia memberikan penghargaan yang besar pada Islam. Menurutnya, ajaran Islam lebih mempunyai nilai-nilai spiritual dibandingkan ajaran Yahudi dan Kristen. taq/iol

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/71672/Faulks_Minta_Maaf_ kepada_Umat_Islam




Lanjut membaca “Faulks Minta Maaf kepada Umat Islam”  »»

Senin, Agustus 24, 2009

Penulis Inggris Lecehkan Al-Quran

By Republika Newsroom
Senin, 24 Agustus 2009 pukul 12:07:00


LONDON--Sebastian Faulks, penulis novel-novel best seller, memancing kemarahan umat Islam karena mengklaim Alquran tidak memiliki "dimensi etika" dan menyebutnya sebagai ocehan orang gila.

"Kitab suci umat Islam itu adalah sebuah buku dengan satu dimensi yang memiliki nilai sastra rendah. Jika dibandingkan dengan Injil, maka pesan-pesannya terkesan "gersang", ujar dia dalam wawancara dengan majalah The Sunday Times yang dilansir Telegraph, Ahad (23/8).


Faulks mengaku telah membaca Alquran dalam terjemahan bahasa Inggris untuk membantunya dalam penulisan novel terbarunya, A Week in December, yang rencananya akan dipublikasikan bulan September mendatang.

Karya terbarunya ini dibuat dengan latar belakang London modern dengan karakter cerita seorang istri anggota parlemen Inggris termuda, seorang supir Tube, seorang manajer keuangan, dan seorang perekrut teroris Islam kelahiran Glasgow bernama Hassan Al Rashid.

Dalam penelitian untuk karakter Al Rashid inilah, Faulks mengaku mulai menyelami Alquran, Kitab suci pegangan umat Islam sebagai firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril.

“Benar-benar buku yang menekan. Hanya ocehan dari orang gila. Bersifat hanya satu dimensi, dan orang-orang berbicara mengenai keindahan bahasa Arab, namun terjemahan bahasa Inggris yang saya baca, dari sudut pandang sastra, sangat mengecewakan,” kata Faulks.

Menurutnya, Alquran tidak menawarkan kisah yang menarik dibandingkan dengan Bibel. Alquran hanya memberitahu pembacanya untuk percaya pada Tuhan atau “terbakar selamanya”.

“Pesan-pesannya juga terasa kering. Maksud saya, ada beberapa bagian yang menyinggung soal diet, Anda tahu, mirip dengan Perjanjian Lama (Taurat), yang juga gila. Namun, kehebatan dari Perjanjian lama adalah adanya kisah-kisah yang menakjubkan. Dari 100 kisah yang diceritakan, sekitar 99-nya kemungkinan ada di dalam Perjanjian Lama dan sisanya di dalam Homer,” ujar dia.

“Alquran tidak memiliki kisah-kisah semacam itu. Alquran juga tidak memiliki dimensi etika seperti Perjanjian Baru (Injil), dan tidak ada rencana baru untuk kehidupan.”

Faulks juga mempertanyakan kemuliaan Nabi Muhammad SAW dan membandingkannya dengan Yesus.

“Yesus, tidak seperti Muhammad, memiliki hal-hal menarik untuk dikatakan. Ia menyodorkan sebuah metode revolusioner dalam melihat dunia: cintai tetanggamu, cintai musuhmu, bersikap baik pada orang lain, orang yang sabar akan mewarisi bumi. Muhammad tidak memiliki hal lain untuk dikatakan pada dunia, kecuali, “Jika engkau tidak percaya pada Tuhan, engkau akan terbakar selamanya,” kata dia.

Sementara itu, Ajmal Masroor, seorang imam dan juru bicara Masyarakat Islam untuk Inggris, menyatakan dia tidak menganggap deskripsi Faulks tentang Alquran.

“Saya dapat menyusun daftar ribuan cendekiawan, politikus, dan akademisi yang tidak mengatakan apa pun selain pujian terhadap Alquran, dan saya berbicara mengenai mereka yang non-Muslim. Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, dan Bill Clinton adalah beberapa di antaranya” ujar dia.

“Menurut saya, komentarnya itu menggelikan, bukan menyerang. Terdengar seperti celotehan orang yang sedikit benci dan tidak obyektif. Saya berharap dapat mendiskusikan Alquran dengannya,” imbuh Masroor.

Masroor juga menambahkan bahwa pernyataan Faulks itu berisiko memicu kebencian agama atas umat Islam.

“Serangan terhadap Islam bukan hal yang baru, namun bahayanya hal ini akan menimbulkan efek yang 'menetes'. Orang-orang sepertinya tidak memahami konsekuensi dari mengucapkan hal-hal seperti ini bisa sangat buruk. Sejarah memberitahu kita bahwa ejekan bisa memicu kebencian.”

Dalam kesempatan terpisaha, Inayat Bunglawala dari Dewan Muslim Inggris mengomentari sudut pandang Faulks mengenai Alquran sebagai penilian yang cenderung “tertutup”.

“Nabi Muhammad seringkali direndahkan oleh banyak orang, baik di zaman beliau maupun setelah beliau yang menyebutnya sebagai ‘orang gila’ atau ‘kesurupan roh jahat’ sebagai sebuah upaya untuk menyingkirkan pesan-pesannya yang indah,” tambah dia.

“Sebastian Faulks mungkin perlu menarik pelajaran bahwa mereka yang melecehkan Nabi saat ini semuanya telah lama dilupakan, sedangkan Nabi masih diingat dengan rasa cinta dan kekaguman". tlg/taq

Foto :
Sebastian Faulks - TELEGRAPH.CO.ID
Sumber : http://republika.co.id/berita/71382/Penulis_Inggris_
Lecehkan_Alquran


Lanjut membaca “Penulis Inggris Lecehkan Al-Quran”  »»

Muslim Rusia Sambut Ramadhan di Masjid Moskow

By Republika Newsroom
Sabtu, 22 Agustus 2009 pukul 22:00:00


MOSKOW--Ratusan warga Muslim di ibu kota Rusia, Moskow, memenuhi Masjid Pusat Moskow, pada Jumat (21/8) malam untuk menyambut bulan suci Ramadhan 1430 Hijriyah yang jatuh pada Sabtu (22/8).Seperti umat Muslim di negara lainnya, warga Muslim di Moskow juga mengisi Ramadhan dengan membaca Al-Quran, berzikir, bersedekah dan ibadah sosial lainnya.


Imam Masjid Pusat Moskow, Marat Arshabayev, mengatakan Ramadhan merupakan bulan yang ditunggu-tunggu setiap Muslim, termasuk Muslim di Rusia.Selain Muslim Rusia, para warga Muslim yang datang dari Kazakhstan, Saudi Arabia, Indonesia dan Malaysia juga bergabung untuk shalat tarawih di masjid tersebut.

Melaksanakan ajaran Nabi Muhammad dalam bulan ini bak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dibanding bulan-bulan lainnya, oleh karena itu umat Muslim berlomba untuk berbuat kebaikan selama Ramadhan ini, kata Imam Marat Arshabayev.

Dalam pertengahan bulan Ramadhan, akan dibangun "tenda Ramadhan" di kompleks masjid yang terletak di pusat kota Moskow itu untuk menyediakan buka puasa bersama.Hidangan buka puasa itu berupa kue-kue hangat dan disediakan pula masakan khas Turki dan Iran. ant/khabar-OANA/kpo

Sumber : http://republika.co.id/berita/71166/Muslim_Rusia_ Sambut_Ramadhan_di_Masjid_Moskow

Lanjut membaca “Muslim Rusia Sambut Ramadhan di Masjid Moskow”  »»

Jumat, Agustus 21, 2009

Puasa Ramadhan

Oleh Abdul Aziz | 30 Sya’ban 1430

Puasa Ramadhan sudah begitu akrab dalam kehidupan masyarakat Muslim kita. Sejak di Taman Kanak-kanak puasa sudah diperkenalkan. Pada setiap tingkat pendidikan yang lebih tinggi puasa selalu dipelajari karena selalu dimasukkan ke dalam kurikulum . Dan Pendidikan Agama Islam sejak awal republik ini berdiri menjadi pelajaran wajib.

Puasa di dalam Al Quran disebut shiyam . Kata itu disebut delapan kali dalam Al-Quran. Semuanya berarti puasa menurut pengertian hukum syariat. Al-Quran juga menggunakan kata shaum , tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak berbicara. Hal ini dilakukan oleh Maryam ketika ia banyak ditanya oleh orang-orang tentang kelahiran anaknya (Isa a.s. ).


Pengertian Puasa

Kata shiyam atau shaum berasal dari akar kata yang sama, yaitu sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya “menahan” dan “berhenti” atau “tidak bergerak” . Menurut istilah, berarti menahan diri dari segala yang membatalkan puasa pada waktu tertentu dimulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan syarat-syarat tertentu.

Ayat-ayat Al Quran tentang puasa Ramadhan, terdapat dalam surah Al-Baqarah (2) : 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba di Madinah, karena surah Al-Baqarah ini diturunkan di Madinah. Kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan ini ditetapkan Allah pada 10 Sya’ban tahun kedua Hijrah. Tapi sebelum ayat ini turun tidak berarti bahwa mereka tidak pernah berpuasa. Ketika baru tiba di Madinah, Rasulullah memerintahkan kaum Muslimin untuk berpuasa 3 hari dalam sebulan. Di samping mereka melaksanakan puasa Asyura (10 Muharram) sebagaimana yang dialukan oleh orang-orang Yahudi di Madinah ketika itu.

Setelah turunnya kewajiban berpuasa Ramadhan, maka yang diwajibkan atas orang-orang beriman hanyalah puasa Ramadhan, sedangkan puasa-puasa yang lain yang sebelumnya dilaksanakan oleh kaum Muslimin menjadi puasa sunat.

Tujuan Puasa

Tujuan puasa secara jelas dinyatakan dalam Al Quran adalah untuk mencapai ketakwaan ( la’allakum tattaqun ). Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa.

Takwa bermakna menjaga diri dari siksa Allah. Menghindari siksa atau hukuman Allah, dilakukan dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya.

Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah Swt. setiap saat, “ bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadarai bahwa Allah melihatnya”.

Esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa.

Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh Al Quran.

Allah menggunakan bentuk kalimat pasif dalam menetapkan kewajiban puasa, Kutiba ‘alaikumush shiyama ( diwajibkan atas kamu berpuasa ), tidak menyebut siapa yang mewajibkannya. Tapi sebenarnya di sini cukup jelas bahwa yang mewajibkannya adalah Allah Swt. Walaupun demikian hal ini mengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yang merwajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa, akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi berpuasa ( tidak makan atau mengendalikan diri ) yang selama ini dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan bukanlah pula kepentingan pengendalian diri disadari oleh setiap makhluk yang berakal.


Hikmah Puasa

Banyak hikmah yang dapat diperoleh dari berpuasa. Ada hikmah yang berdampak secara individual dan ada hikmah yang berdampak secara sosiologis.

Dampak secara individual adalah :

1. Untuk meningkatkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
2. Untuk meningkatkan ketakwaan.
3. Untuk meningkatkan kesabaran.
4. Untuk mengendalikan hawa nafsu.
5. Untuk menumbuhkan sifat amanah dan keikhlasan beramal.
6. Untuk mendidik jiwa, menyucikan hati dan menyembuhkan penyakit hati.
7. Untuk mendapatkan pengampunan.


Dampak secara sosiologis adalah:

1. Untuk meningkatkan pengawasan nurani terhadap segala tindakannya.
2. Untuk menumbuhkan solidaritas kemanusiaan.
3. Untuk membiasakan diri berbuat baik kepada orang lain.
4. Untuk menumbuhkan rasa kasih sayang , kepedulian dan semangat berbagi dengan sesama.
5. Untuk mengikis kesombongan , iri hati dan dengki.
6. Untuk membiasakan diri jauh dari perbuatan-perbuatan maksiat.


Syarat Wajib dan Rukun Puasa

Syarat wajib Puasa : Islam; balig; berakal; mampu berpuasa; mengetahui wajibnya puasa; sehat; muqim ( tidak musafir).

Rukun puasa adalah : niat; menahan diri dari segala yang membatalkan puasa; berpuasa pada waktunya ( bulan Ramadhan ).

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Berpuasa

1. Yang perlu dilakukan, adalah :
a. Berniat puasa pada malam harinya.
b. Berimsak ( menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa ).
c. Melakukan hal-hal yang disunatkan dalam berpuasa.
d. Segera berbuka apabila sudah waktunya.
e. Baca doa sebelum berbuka.
f. Makan sahur.
g. Yang berhadas besar disunatkan mandi sebelum Subuh.
h. Memperbanyak sadaqah.
i. Memberi makanan untuk berbuka.
j. Memperbanyak membaca Al Quran dan berzikir.
k. Melakukan qiyamullail ( tarawih ).
l. Melakukan i’tikaf di masjid.

2. Yang perlu dihindari, adalah :
a. Menceritakan keaiban atau kejelekan orang lain.
b. Mencela, mengumpat, mencaci, memaki.
c. Berbuat atau mengucapkan hal-hal yang dapat merugikan orang lain.
d. Berbohong.
e. Menjadi saksi palsu.

Hal-hal yang mewajibkan Berbuka

Hal-hal yang mewajibkan seseorang berbuka puasa ( tidak berpuasa ) adalah : haid; nifas. Mereka diwajibkan mengqada.

Hal-hal yang Membolehkan Berbuka

1. Safar ( bepergian ).
2. Sakit
3. Tidak mampu
4. Jihad ( dalam arti berperang untuk menegakkan agama ).
5. Hamil
6. Menyusui.


Hal-hal yang Menggugurkan Kewajiban Puasa

1. Lanjut usia.
2. Sakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Tidak mampu berpuasa karena pekerjaan yang sangat berat.
4. Orang gila.

DAFTAR RUJUKAN

Shihab, M. Quraish. 1997. Wawasan Al-Quran : Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung : Penerbit Mizan

Raya, Ahmad Thib dan Mulia, Siti Musdah. 2003. Menyelami Seluk-Beluk Ibadah dalam Islam. Bogor : Kencana


Lanjut membaca “Puasa Ramadhan”  »»

Moment-moment Penting di Bulan Ramadhan

Oleh Abdul Aziz | 30 Sya’ban 1430

Ramadhan adalah bulan mulia, bulan yang agung dan penuh berkah. Satu-satunya nama bulan yang tercantum dalam Al-Quran ( Al-Baqarah, 2 : 185 ). Kemuliaan, keagungan dan keberkahannya berkaitan erat dengan keutamaan amal dan nilai-nilai yang terkandung di dalam bulan Ramadhan. Rasulullah SAW dalam pidatonya pada hari terakhir di bulan Sya’ban menyatakan bahwa kita dalam naungan bulan yang agung dan penuh berkah. Di dalamnya ada satu malam mulia yang lebih baik dari seribu bulan. Bulan diwajibkannya puasa dan malamnya disunnahkan shalat (tarawih) . Ramadhan adalah bulan kesabaran, bulan untuk berbagi, bulan penuh kasih dan ampunan.


Kemuliaan dan keagungan bulan Ramadhan ditunjukkan dengan nama-nama tertentu yang dilekatkan pada bulan ini. Nama-nama tersebut merefleksikan moment-moment penting pada bulan Ramadhan, di antaranya adalah :
1. Syahr Allah (Bulan Allah), karena Allah memberikan pahala yang besar bagi orang yang berbuat baik di bulan ini. Ibadah puasa pun pahalanya langsung diberikan Allah sendiri.
2. Syahr al-Quran ( bulan diturunkannya Al-Quran / Nuzul al-Quran ).
3. Syahr al-tilawah ( bulan membaca Al-Quran ).
4. Syahr al-shabr ( bulan pelatihan untuk bersabar).
5. Syahr al-rahmah ( bulan kasih sayang, bulan waktu Allah melimpahkan rahmat-Nya ).
6. Syahr al-Shiyam ( bulan dilaksanakannya ibadah puasa ).
7. Syahr al-jud ( bulan untuk berbagi ).


Ramadhan bagi umat Muslim memiliki makna tersendiri, karena berbagai peristiwa penting dalam sejarah perkembangan Islam terjadi pada bulan ini. Peristiwa-peristiwa penting itu di antaranya :

1. Turunnya wahyu pertama al-Quran, yaitu surah al-Alaq (96) : 1 – 5 (Nuzul al-Quran ) dan pengangkatan Muhammad sebagi Rasul Allah ketika sedang berkhalwat di Gua Hira pada tanggal 17 Ramadhan.
2. Tahun duka cita ( ‘Amm al-Hazn ) , yaitu meninggalnya Abu Thalib, paman Nabi Muhammad, dan Khadijah binti Khuwailid, istrinya, pada tahun ke-10 kerasulan. Kedua orang inilah yang selalu memberikan support dalam berdakwah. Selama Abu Thalib hidup tak seorang pun berani mengganggu Nabi secara terang-terangan. Khadijah pun membantu dengan hartanya untuk berdakwah.
3. Pada bulan Sya’ban tahun 2 H Allah mewajibkan berpuasa Ramadhan dan mengeluarkan zakat fitrah kepada kaum Muslim.
4. Kemenangan besar Rasulullah SAW bersama kaum Muslimin dalam Perang Badr al-Kubra (besar) tanggal 17 Ramadhan 2 H. Sebuah kemenangan yang dapat membangkitkan semangat juang kaum Muslimin.
5. Fath Makkah, kemenangan kaum Muslimin atas kota Makkah dan pemusnahan berhala-berhala sesembahan kaum kafir di sekitar Ka’bah pada tanggal 21 Ramadhan 8 H.
6. Pada bulan Ramadhan 9 H penduduk Taif mendatangi
Rasulullah dan menyatakan masuk Islam. Dan pada tahun yang sama utusan kerajaan Hummir memberitahukan keislaman mereka.
7. Pada tahun berikutnya, 10 H, kabilah Hamadan di Yaman menyatakan masuk Islam.
8. Fatimah az-Zahra meninggal pada tanggal 13 Ramadhan 14 H.
9. Ali ibn Abi Thalib wafat pada hari Jumat, 15 Ramadhan 40 H.
10. Pada bulan Ramadhan 53 H, kaum Muslimin menaklukkan Pulau Rhodes di Laut Tengah.
11. Aisyah, istri Nabi, meninggal pada tahun 78 H.
12. Pada bulan Ramadhan 91 H, kaum Muslimin mendarat di pantai selatan Andalusia (Spanyol). Setahun kemudian , 92 H, Thariq ibn Ziyad menaklukkan Spanyol.
13. Ramadhan 361 H Universitas Al-Azhar dibuka di Kairo.
14. Shalahuddin al-Ayyubi , Ramadhan 584 H, mencapai kemenangan gemilang dengan memukul mundur pasukan Salib dan membebaskan beberapa daerah yang diduduki tentara Salib.
15. Negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia memproklamasikan kemerdekaannya pada hari Jumat, 10 Ramadhan 1364 H bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945.

Selamat berpuasa !





Lanjut membaca “Moment-moment Penting di Bulan Ramadhan”  »»

Ramadhan yang Panas, Ramadhan yang Nyaman

Oleh Abdul Aziz | 30 Sya’ban 1430

Insya Allah, besok kita memasuki bulan Ramadhan . Bulan kesembilan dalam kalender bangsa Arab dan juga dalam kalender Islam atau Hijriah. Ramadhan yang berarti “yang sangat panas”, merupakan penggambaran yang berasal dari sistem kalender matahari bangsa Arab pra-Islam. Menurut bahasa, Ramadhan berasal dari kata Ramdha’ yang berarti panasnya terik matahari, atau cuaca yang sangat panas. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa dari pengertian itu ada dua pendapat yang saling berkaitan. Pertama, ketika awal diwajibkannya puasa itu kepada umat Islam cuaca sedang panas sekali. Kedua, Ramadhan ini berfungsi untuk membakar dosa, karena pada bulan ini kesempatan untuk memohon ampunan Allah terbuka lebar.


Nama Ramadhan ini diberikan oleh orang-orang Arab pada bulan kesembilan itu, karena pada bulan tersebut padang pasir sangat panas oleh terik matahari. Kebiasaan mereka dalam menyerap istilah asing dengan memberikan suatu istilah yang sesuai dengan keadan pada waktu itu. Maka bulan yang terasa cuacanya sangat panas ini mereka sebut Ramadhan.

Diwajibkannya pertama kali pada musim panas ini memberikan arti tersendiri bagi umat Muslim sekarang, sebab tidak ada alasan untuk menolak kewajiban puasa itu. Pada awal diberlakukannya kewajiban puasa, Rasul dan para shahabat berpuasa dalam cuaca yang tidak ramah sama sekali , padahal sedang menahan lapar dan haus. Di negeri kita yang beriklim tropis, kelelahan itu tidak begitu terasa, berbeda dengan mereka yang tinggal di Timur Tengah.

Puasa juga terasa sangat berbeda apabila bulan Ramadhan itu jatuh pada musim dingin atau musim panas di negeri-negeri yang memiliki kedua musim tersebut. Menurut Danielle Robinson, dari Universitas Branford, melakukan puasa pada dua musim itu terasa sangat berat.

Sifat Maha Rahman dan Maha Rahim Allah sekilas terlihat bertentangan dengan perintahnya yang wajib dilakukan dalam kondisi yang sangat panas. Berpuasa pada siang hari yang panas, haus dan lapar akan terasa sangat melelahkan. Tapi Allah berfirman :

لاَ يُكَلِفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya.” ( QS Al-Baqarah, 2 : 286 ). Allah Mahatahu tentang kondisi manusia, sehingga puasa dalam cuaca yang panas pun masih tetap bisa dilakukan dengan baik. Apalagi bila puasanya dilakukan dengan penuh keikhlasan akan terasa nyaman.

Ketentuan hukum, bila ditinjau dari berat ringannya, terbagi menjadi dua, yaitu (1) Azimah dan (2) Rukhshah. Azimah adalah hukum syara yang pokok dan berlaku secara umum bagi seluruh mukallaf ( yang dibebani hukum ) dan dalam setiap keadaan dan waktu, seperti shalat fardlu, misalnya.

Sedangkan Rukhshah adalah peraturan tambahan yang dijalankan sehubungan dengan adanya hal-hal yang memberatkan, sebagai pengecualian dari hukum-hukum yang pokok. Dengan kata lain rukhshah merupakan keringanan dalam menjalankan suatu ketentuan. Misalnya boleh shalat sambil duduk bila tidak mampu berdiri, atau boleh berbuka puasa bagi seorang musafir.

Dalam puasa Ramadhan terdapat keringanan , bagi musafir misalnya. Ia boleh berpuasa atau berbuka. Mengenai hal tersebut para ulama berbeda pendapat. Imam Malik dan Imam Syafi’i menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada yang bersangkutan. Apa pun pilihannya, itulah yang lebih baik bagi dirinya.Tetapi ada ulama yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah kemudahan dari Allah. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering meminta dispensasi, ini malah ditolak. Tidak baik menolak kemudahan yang telah diberikan Allah kepada kita.

يُرِيْدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ


”Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesulitan”. (QS Al- Baqarah, 2 : 185 ).

Selain itu, kalangan ulama Zhahiriyah dan Syi’ah bahkan mewajibkan berbuka bagi musafir dan orang yang sakit, dan wajib pula menggantinya ( qadha ) pada hari-hari yang lain.

Welcome O Ramadhan. Ramadhan mubarak 4 all ummah.


Lanjut membaca “Ramadhan yang Panas, Ramadhan yang Nyaman”  »»

Sabtu, Agustus 15, 2009

Puasa Sunnah Pasca Nishfu Sya'ban

Oleh Abdul Aziz | 24 Sya'ban 1430

Puasa sunnah pada bulan Sya’ban senantiasa dilakukan Rasulullah SAW. Hari ini kita sudah berada pada akhir bulan Sya’ban dan tinggal beberapa hari lagi memasuki bulan Ramadhan , bulan saatnya kita melaksanakan puasa wajib.Tetapi ada beberapa hadits tentang puasa setelah melewati nishfu Sya’ban yang tampak seperti bertentangan satu sama lainnya. Hadits-hadits itu kelihatannya kontradiktif, antara puasa Sya’ban sebulan penuh dengan larangan puasa pasca nishfu Sya’ban.


Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan,”Rasulullah tidak pernah berpuasa pada suatu bulan yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban, sesungguhnya beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” Sementara yang diriwayatkan Muslim, Aisyah mengatakan, “Rasulullah terus berpuasa hingga kami menyatakan bahwa beliau puasa terus menerus. Dan terkadang beliau terus berbuka (tidak puasa) hingga kami menyatakan bahwa beliau terus berbuka (tidak puasa). Dan aku tidak melihat Rasulullah berpuasa dalam satu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban. Beliau puasa pada seluruh bulan Sya’ban, dan beliau puasa bulan Sya’ban keseluruhan kecuali sedikit.”

Semetara dalam hadits lain beliau melarang puasa sunnah bila telah memasuki pertengahan bulan ( nishfu Sya’ban). Hadits riwayat Ibnu Hibban menyebutkan bahwa Abu Harirah berkata,”Rasulullah bersabda,’Tidak ada puasa (sunnah) setelah pertengahan bulan Sya’ban sampai datang bulan Ramadhan.” Tapi pada suatu hari di akhir bulan Sya’ban , seperti yang diriwayatkan Muslim, beliau pernah bertanya kepada seorang laki-laki,”Apakah kamu telah puasa di penghujung bulan Sya’ban ini?” Ia menjawab,’Tidak’. Sebelum datangnya Ramadhan, maka puasalah sehari atau dua hari.”

Selain itu ada hadits lain yang menambah bingung dalam memahami hadits-hadits tersebut di atas, yaitu hadits tentang larangan puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan. Hari itu lebih dikenal dengan sebutan hari yang meragukan ( yaum al-syak ) . Maksudnya adalah hari antara akhir Sya’ban dan awal Ramadhan, karena hari itu belum bisa dipastikan apakah sudah masuk Ramadahan atau belum.

Imam al-Qurthubi mencoba menjelaskan tentang hadits-hadits di atas. Menurutnya tidak ada yang kontradiktif antara hadits yang melarang puasa pasca nishfu Sya’ban dengan hadits yang menyatakan tidak boleh puasa pada hari syak dan hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW telah menyambung puasa bulan Sya’ban dengan bulan Ramadhan.

Larangan puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan atau pasca nishfu Sya’ban itu bagi orang-orang yang tidak biasa berpuasa. Karena hal itu dikhawatirkan akan mengganggu kondisi fisiknya saat memasuki Ramadhan, sehingga puasa wajibnya pada bulan Ramadhan akan terganggu. Tapi bagi mereka yang sudah terbiasa dengan puasa sunnah, maka puasa pasca nishfu Sya’ban atau menjelang awal Ramadhan tidak dilarang.

Pendapatnya ini didasarkan pada hadits berikut. Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda,”Sungguh, janganlah kamu mendahului Ramadhan dengan puasa sunnah sehari atau dua hari, kecuali bila sudah terbiasa puasa sunnah, maka silahkan saja puasa pada hari-hari tersebut.” ( HR> Bukhari ).

Yang dikhawatirkan Rasulullah tentang puasa menjelang Ramadhan ini akan mengganggu puasa wajibnya, bisa kita saksikan di sebagian masyarakat Muslim kita. Pada bulan Dzulhijjah banyak yang berpuasa sunnah sejak tanggal satu, tetapi ketika sampai pada hari Arafah ( 9 Dzulhijjah ) mereka kelelahan, dan mereka tidak bisa berpuasa pada hari itu, padahal puasa Arafah ini merupakan sunnah Nabi.

Oleh karena itu bagi yang hendak berpuasa pada bulan Sya’ban lalu diteruskan dengan puasa Ramadhan, jika mampu untuk melaksanakannya boleh-boleh saja. Jadi, berpuasa setelah nishfu Sya’ban atau sebelum Ramadhan, kalau sudah terbiasa puasa sunnah Senin-Kamis misalnya, maka diperbolehkan melaksanakannya. Yang penting jangan sampai puasa sunnah itu mengganggu puasa wajib pada bulan Ramadhan.

Apalagi bagi orang yang belum sempat membayar hutang puasa Ramadhan tahun lalu, maka hendaklah ia membayar hutang puasanya itu sebelum Ramadahn tiba, walaupun sudah melewati pertengahan bulan Sya’ban.

Barangkali Anda punya pendapat lain, ditunggu komentarnya.

Lanjut membaca “Puasa Sunnah Pasca Nishfu Sya'ban”  »»

Senin, Agustus 10, 2009

Keteladanan dan Pembiasaan dalam PAI

Oleh Abdul Aziz | 19 Sya'ban 1430

Konsep dan persepsi keagamaan pada anak dipengaruhi oleh unsur dari luar diri mereka. Hal ini terjadi karena sejak usia dini telah melihat, mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu. ”Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki” ( Ramayulis, 2005 : 81).


Dalam kehidupan sehari-hari perilaku keagamaan yang dilakukan anak-anak pada dasarnya mereka peroleh dari meniru. Shalat berjamaah misalnya mereka lakukan merupakan hasil melihat perbuatan itu di lingkungannya, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran khusus yang intensif. Sehinggga sifat meniru yang dimiliki anak ini merupakan modal yang positif dan potensial dalam pendidikan keagamaan pada anak.

Sejak fase-fase awal kehidupan, seorang anak banyak sekali belajar melalui peniruan terhadap kebiasaan dan tingkah laku orang-orang di sekitarnya, khususnya dari kedua orang tuanya.

Kecenderungan anak meniru dan belajar melalui peniruan, menyebabkan keteladanan menjadi sangat penting artinya dalam proses pembelajaran. Firman
Allah SWT dalam surah Al Ahzab ayat 21 :

َ لَقَدْ كََا نَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْ لِ اللّهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu...”.

Agar peserta didik meniru sesuatu yang positif dari gurunya, maka guru harus menjadikan dirinya sebagi uswatun hasanah dengan menampilkan diri sebagai sumber norma, budi yang luhur, dan perilaku yang mulia.

Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka, yang dipelajari dari orang tua maupun guru. Bagi anak sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun ajaran itu belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.

Berawal dari peniruan dan selanjutnya dilakukan pembiasaan di bawah bimbingan guru, peserta didik akan semakin terbiasa. Bila sudah menjadi kebiasaan yang tertanam jauh di dalam hatinya, peserta didik itu kelak akan sulit untuk berubah dari kebiasaannya itu. Ia, misalnya, akan melakukan shalat berjamaah bila waktu shalat tiba, tidak akan berpikir panjang apakah shalat dulu atau melakukan hal lain, apakah berjamaah atau nanti saja shalat sendirian. Hal ini disebabkan karena kebiasaan itu merupakan perilaku yang sifatnya otomatis, tanpa direncanakan terlebih dahulu, berlangsung begitu saja tanpa dipikirkan lagi.

Dengan demikian seseorang dalam keberagamaannya haruslah senatiasa meniru , meneladani yang dicontohkan Rasulullah SAW. , kemudian membiasakannya. Bagaimana dengan Anda ?

RUJUKAN

Ramayulis . 2005. Metodologi Pendidikan Agama Islam . Jakarta : Kalam Mulia

Lanjut membaca “Keteladanan dan Pembiasaan dalam PAI”  »»

Pendekatan dalam Pembelajaran PAI

Oleh Abdul Aziz | 19 Sya'ban 1430

Pembelajaran dan bimbingan guru dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan. ”HM. Chatib Thaha, mendefinisikan pendekatan adalah cara pemrosesan subjek atas objek untuk mencapai tujuan. Pendekatan juga bisa berarti cara pandang terhadap sebuah objek persoalan, di mana cara pandang itu adalah cara pandang dalam konteks yang lebih luas” ( Ramayulis, 2005 : 127).


Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan pendidik untuk kegiatan pembelajaran dalam Pendidikan Agama Islam :

a. Pendekatan Pengalaman

Pendekatan ini merupakan pemberian pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan. Dengan pendekatan ini peserta didik diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman keagamaan baik secara individual maupun kelompok.

Dalam pembelajaran ibadah misalnya, guru atau pendidik akan menemui kesulitan yang besar apabila mengabaikan pendekatan ini. Peserta didik harus mengalami sendiri ibadah itu dengan bimbingan gurunya. Belajar dari pengalaman jauh lebih baik dari pada hanya sekedar bicara, tidak pernah berbuat sama sekali. Pengalaman yang dimaksud di sini tentunya pengalaman yang bersifat mendidik. Memberikan pengalaman yang edukatif kepada peserta didik diarahkan untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.

b. Pendekatan Pembiasaan

Pendekatan ini dimaksudkan agar seseorang memiliki kebiasaan berbuat hal-hal yang baik sesuai dengan ajaran agama Islam. Edi Suardi dalam bukunya, Pedagogik 2, menjelaskan bahwa ”kebiasaan itu adalah suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya otomatis, tanpa direncanakan dulu, serta berlaku begitu saja tanpa dipikir lagi” ( Edi Suardi, tt : 123 ). Pembiasaan memberikan kesempatan kepada peserta didik terbiasa mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari.

c. Pendekatan Emosional

Emosi merupakan gejala kejiwaan yang ada di dalam diri seseorang. Emosi tersebut berhubungan dengan masalah perasaan. Karena itu pendekatan emosional merupakan ”usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini ajaran Islam serta dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk ” ( Ramayulis, 2005 : 129 ).

Emosi berperan dalam pembentukan kepribadian seseorang, oleh karena itu pendekatan emosional merupakan salah satu pendekatan dalam Pendidikan Agama Islam. Metode pembelajaran dalam pendekatan emosional ini yang digunakan adalah metode ceramah, sosio drama atau bercerita.

d. Pendekatan Rasional

Pendekatan rasional merupakan sutu pendekatan yang mempergunakan rasio ( akal ) dalam memahami dan menerima suatu ajaran agama. Dengan mempergunakan akalnya seseorang bisa membedakan mana yang baik, mana yang lebih baik, atau mana yang tidak baik. Pembelajaran dengan melalui metode tanya jawab atau kerja kelompok, misalnya seorang guru bisa melakukan pendekatan rasional dengan memberikan peran akal dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran atau tuntunan agama.

e. Pendekatan Fungsional

Pendekatan ini merupakan upaya memberikan materi pembelajaran dengan menekankan kepada segi kemanfaatan bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran dan bimbingan untuk melakukan shalat misalnya, diharapkan berguna bagi kehidupan seseorang, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan sosial. Melalui pendekatan fungsional ini berarti peserta didik dapat memanfaatkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.

Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini antara lain metode latihan, demonstrasi, dan pemberian tugas.

f. Pendekatan Keteladanan

Pendekatan keteladanan adalah memperlihatkan keteladanan atau memberikan contoh yang baik. Guru yang senantiasa bersikap baik kepada setiap orang misalnya, secara langsung memberikan keteladanan bagi anak didiknya. Keteladanan pendidik terhadap anak didiknya merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan keberhasilan pembelajaran. Hal ini disebabkan karena guru akan menjadi tokoh identifikasi dalam pandangan anak yang akan dijadikannya sebagai teladan dalam mengidentifikasikan diri dalam kehidupannya.

Kecenderungan anak untuk belajar melalui peniruan menyebabkan pendekatan keteladanan menjadi sangat penting artinya dalam proses pembelajaran. Bahkan manusia pada umumnya senantiasa cenderung meniru yang lainnya. Rasulullah SAW merupakan teladan yang baik bagi umat Islam, sebagaimana yang dinyatakan Allah SWT dalam Al Quran surah Al Ahzab ayat 21 :

لَقَدْ كَََا نَ لََكُمْ فِيْ رَسُوْ لِ اللّهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada ( diri ) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” .

Barangkali masih banyak pendekatan lainnya, Anda dapat menambahkannya atau mungkin mengomentarinya.

DAFTAR RUJUKAN

Ramayulis . 2005. Metodologi Pendidikan Agama Islam . Jakarta : Kalam Mulia

Suardi, Edi . tt . Pedagogik 2 . Cetakan ke- 2 . Bandung : Angkasa.

Lanjut membaca “Pendekatan dalam Pembelajaran PAI”  »»

Pembelajaran dalam Pendidikan Agama Islam

Oleh Abdul Aziz | 19 Sya'ban 1430

Inti dari pada proses Pendidikan Agama Islam secara formal adalah pembelajaran. Sedangkan inti dari pembelajaran adalah peserta didik belajar. Oleh karena itu pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari aktivitas belajar. Sehingga dalam dunia kependidikan dikenal istilah Kegiatan Belajar Mengajar atau disingkat KBM.


Pembelajaran pada dasarnya bertumpu pada satu hal, yaitu bagaimana guru memberikan kemungkinan bagi peserta didik agar tercipta suatu kegiatan belajar yang efektif atau dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan. Jadi pembelajaran merupakan kegiatan belajar dan mengajar yang keduanya tidak bisa terpisahkan.

Pendekatan terhadap pembelajaran pada umumnya menggunakan pendekatan sistem ( system approach ). Dengan pendekatan ini pembelajaran dipandang sebagai suatu sistem. ”Suatu sistem mempunyai sejumlah komponen yang saling berinteraksi dalam rangka mencapai tujuan” ( Mohamad Ali, 1984: ix).

Sistem pembelajaran mempunyai beberepa komponen, yaitu bahan, metode, alat dan evaluasi. Semua komponen itu saling berhubungan dan berinteraksi dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu dalam membuat perencanaan pembelajaran harus mempertimbangkan komponen-komponen tersebut.

Sebagaimana dikemukakan di atas, pembelajaran itu merupakan kegiatan mengajar dan belajar. Mengajar merupakan suatu proses yang kompleks. Tidak hanya sekedar meyampaikan informasi dari guru kepada peserta didik. Banyak kegiatan dan tindakan yang harus dilakukan untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik pada seluruh peserta didik. Oleh karena itu rumusan pengertian mengajar tidaklah sederhana, karena rumusan itu harus mencakup seluruh kegiatan dan tindakan dalam proses mengajar itu sendiri.

Mohamad Ali dalam bukunya Guru dalam Proses Belajar Mengajar menyimpulkan bahwa mengajar adalah, ”Segala upaya yang disengaja dalam rangka memberi kemungkinan bagi peserta didik untuk terjadinya proses belajar sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan” ( Mohamad Ali, 1984 : 3 ).

Sedangkan belajar secara umum dapat diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku, yang diakibatkan oleh interaksi individu dengan lingkungan. Perilaku ini mengandung pengertian yang luas, yaitu mencakup pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap , dan sebagainya.

Pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan sebagainya yang dimiliki seorang peserta didik tidak dapat diidentifikasi karena ini merupakan kecenderungan perilaku saja. Hal ini dapat diidentifikasi dari penampilan ( behavioral performance ). Penampilan ini dapat berupa kemampuan menjelaskan, menyebutkan sesuatu atau melakukan suatu perbuatan. Namun demikian, individu dapat dikatakan telah menjalani proses belajar, meskipun pada dirinya hanya ada perubahan dalam kecenderungan perilaku saja ( Mohamad Ali, 1984 : 5 ).

Seorang murid telah menjalani proses belajar dalam mata pelajaran PAI dengan baik apabila telah terjadi perubahan perilaku pada diri anak didik tersebut.


RUJUKAN :

Ali, Mohamad . 1984. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru


Lanjut membaca “Pembelajaran dalam Pendidikan Agama Islam”  »»

Selasa, Agustus 04, 2009

Shalat Malam Nishfu Sya’ban, Adakah ?

Oleh Abdul Aziz | 13 Sya'ban 1430

Imam al-Ghazali dalam bukunya yang terkenal, Ihya’ ‘Ulumiddin menyebutkan bahwa pada malam nishfu Sya’ban ada shalat khusus. Ia menyatakan,”Pada malam lima belas bulan Sya’ban, ada shalat 100 rakaat. Setiap dua rakaat membaca salam. Setiap rakaat membaca surah al-Fatihah, dilanjutkan dengan surah al-Ikhlash 11 kali. Atau bisa juga shalat 10 rakaat. Setiap rakaat membaca surah al-Fatihah lalu membaca al-Ikhlas 100 kali.” Benarkah ada shalat nishfu Sya’ban?


Al-Ghazali mengatakan hal itu berdasarkan riwayat dari al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Al-Hasan berkata,”Aku telah diberitahu 30 orang shahabat Rasulullah SAW, bahwa barangsiapa melakukan shalat malam nishfu Sya’ban, maka Allah akan memandangnya 70 kali, dan dari setiap pandangan dikabulkan 70 hajatnya, dan hajat yang paling rendah adalah pengampunan dosanya.”

Syekh Sayyid Imran menguji validitas hadits-hadits yang ada dalam buku Ihya’ Ulumiddin. Menurutnya,”Dalil yang dipakai al-Ghazali itu bathil. Dan di sana ada riwayat lain yang menyebutkan adanya perintah dari Rasulullah tentang shalat pada malam nishfu Sya’ban yang diriwayatkan Ibnu Majah, tapi hadits tersebut dinyatakan oleh para ulama hadits sebagai hadits dhoif (lemah)”.

Di negeri kita ada juga bentuk lain dari shalat malam nishfu Sya’ban yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat Muslim. Mereka melakukan shalat sunnah dua rakaat seusai shalat maghrib di malam nishfu Sya’ban. Sesudah shalat, membaca surah Yasin 3 kali. Pertama, untuk memohon panjang umur. Kedua, memohon rizki. Ketiga, memohon tetap iman dan khusnul khatimah. Lalu berdoa dengan doa khusus.

Ada juga hadits yang lain tentang disyariatkannya shalat pada malam nishfu Sya’ban, yang tentunya palsu, yaitu :
“Barangsiapa yang menghidupkan malam dua hari raya (Fithri dan Adhha) dan malam pertengahan bulan Sya’ban, maka hatinya tidak akan mati saat hati-hati lainnya mati.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam bukunya Al-Ilal . Dan ia menyatakan hadits tersebut palsu, karena pada sanadnya terdapat perawi yang banyak memiliki catatan kurang baik.

Imam al-Qari, penulis buku Al-Umdah (penjelasan Buku Shahih al-Bukhari) mengatakan,”Kalau ada hadits yang menyeru shalat 100 rakaat pada malam nishfu Sya’ban dengan membaca surah al-Ikhlash 10 kali dalam setiap rakaat adalah palsu.”

Sedangkan Ali bin Ibrahim menyatakan shalat malam nishfu Sya’ban itu bid’ah.Tidak ada satu pun hadits atau atsar yang menjelaskan hal itu, kecuali hadits lemah sekali atau palsu.

Kebanyakan ulama Hijaz seperti Atha’, Ibnu Abi Mulaikah, para ahli fiqih Madinah dan murid-murid Malik menolak shalat nishfu Sya’ban, dan mereka mengatakan,”Semua itu bid’ah”.

Sedangkan Imam an-Nawawi, seorang ulama terkenal dalam mazhab Syafi’i menegaskan,”Shalat Rajab dan shalat Sya’ban adalah dua bid’ah yang mungkar dan buruk. Jangan terpedaya dengan apa yang tertulis dalam Kitab Qutul Qulub dan Ihya ‘Ulumiddin, atau hadits yang menjelaskan adanya dua shalat tersebut, karena semuanya bathil.”

Memang kita mengetahui keutamaan bulan Sya’ban ini, tapi kita tidak boleh melakukan hal-hal yang melewati batas-batas yang telah ditentukan Rasulullah SAW. Beliau yang paling mengetahui keistimewaan bulan Sya’ban, karena sebagai rasul ia diutus Allah untuk menjelaskan kepada umatnya.

Kita juga mengetahui, ketika Rasulullah SAW masih hidup, bulan Sya’ban itu sudah ada. Sehingga kalau ada shalat sunnah pada malam nishfu Sya’ban itu, tentunya beliau akan mengajarkannya kepada para shahabatnya. Dan tentunya akan banyak dalil atau hadits yang shahih tentang hal itu.

Tapi justru sebaliknya para ulama hadits menyatakan bahwa tidak ada perintah Rasulullah untuk melaksanakan shalat malam nishfu Sya’ban. Para ulama itu juga menyatakan bahwa shalat nishfu Sya’ban itu bid’ah.

Sebenarnya shalat sunnah itu cukup banyak, tentunya dengan dalil-dalil yang shahih. Shalat sunnah yang bisa dikerjakan siang hari, malam hari atau kapan pun banyak dicontohkan Nabi SAW. Bisa dilakukan pada malam nishfu Sya’ban, atau pada nishfu bulan lainnya.

Hal lain yang sering dilakukan pada malam nishfu Sya’ban adalah membaca surah Yasin secara khusus. Tentang ini , KH. Dr. Ahmad Luthfi Fathullah, MA, seorang ulama pakar ilmu hadits, menegaskan,”Tidak ada ajaran yang mengharuskan kita membaca surah Yasin, dua atau tiga kali. Haditsnya palsu. Tetapi kalau ada orang yang ingin membaca surah Yasin, maka boleh-boleh saja. Tidak hanya di pertengahan Sya’ban saja, di sepertiga atau seperempat malamnya juga boleh. Cuma jangan mengatakan bahwa membaca surah Yasin pada malam pertengahan Sya’ban karena ada sumber haditsnya. Ada 10.000 hadits yang menjelaskan tentang fadhilah al-Quran.Dan kita disunnahkan untuk membaca al-Quran kapan saja. Tetapi jangan menyandarkan amalan kita pada hadits yang palsu. Pakai saja hadits yang shahih”.

Uraian singkat ini tentu tidak lengkap, tentunya Anda diharapkan sekali untuk melengkapi melalui komentar-komentarnya.

Sumber Rujukan :

Majalah Ghoib, Edisi 71 Th. 4, 17 Ramadhan 1427 / 7 Oktober 2006


Lanjut membaca “Shalat Malam Nishfu Sya’ban, Adakah ?”  »»

Puasa Sunnah Sya'ban

Oleh Abdul Aziz | 13 Sya'ban 1430

Puasa sunnah pada bulan Sya’ban tidak begitu akrab bagi masyarakat Muslim kita. Sebagian besar hanya mengenal puasa sunnah hari Senin dan Kamis, hari Arafah, dan hari Asyura. Sebaliknya mereka lebih mengenal dan sering melakukan puasa sunnah bulan Rabiul Awal dan Rajab mulai dari tanggal satu, bahkan banyak yang sampai satu minggu. Padahal puasa pada bulan Sya’ban ini selalu dilakukan Rasulullah SAW.


Sebenarnya puasa sunnah Sya’ban ini sudah diperkenalkan kepada anak-anak melalui materi pelajaran PAI di Sekolah Dasar, tapi kebiasaan masyarakat lebih berpengaruh kepada keberagamaan kita.

Rasulullah menyambut keutamaan bulan Sya’ban dengan melakukan puasa. Puasanya sebagaimana puasa bulan Ramadhan, hanya hukumnya sunnah. Tidak ada cara-cara tertentu atau hal-hal yang khusus dan tujuan tertentu dalam puasanya itu, seperti untuk pesugihan atau kedigdayaan.

Puasa sunnah Sya’ban ini senantiasa dilakukan Nabi SAW. Mengenai berapa lama beliau berpuasa, para ulama berbeda pendapat, karena beragam riwayat yang menjelaskan puasa Rasulullah SAW di bulan Sya’ban.

Pendapat para ulama tentang berapa hari puasa itu dilakukan Nabi SAW cukup beragam :

1. Puasa Sya’ban sebulan penuh

Beberapa riwayat menjelaskan bahwa pada bulan Sya’ban beliau berpuasa sebulan penuh, sehingga menyambung puasanya itu dengan puasa Ramadhan. Riwayat yang menjelaskan hal ini di antaranya adalah :
Dari Abu Salamah , bahwa Aisyah telah memberitahunya,”Rasulullah tidak pernah berpuasa pada suatu bulan yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban, sesungguhnya beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh...” (HR Bukhari ).

2. Puasa sebanyak mungkin, tapi kurang dari sebulan

Rasulullah SAW diriwatkan tidak puasa sebulan penuh, tapi kurang beberapa hari. Hal ini dijelaskan dalam riwayat shahih berikut:

Abu Salamah berkata,”Aku telah bertanya kepada Aisyah tentang puasa Rasulullah. Ia menjawab,’Rasulullah terus berpuasa hingga kami menyatakan bahwa beliau puasa terus menerus. Dan terkadang beliau terus berbuka (tidak puasa) hingga kami menyatakan bahwa beliau terus berbuka (tidak puasa). Dan aku tidak melihat Rasulullah berpuasa dalam suatu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban. Beliau puasa pada seluruh bulan Sya’ban, dan beliau puasa bulan Sya’ban keseluruhan kecuali sedikit.” (HR. Muslim).

Dari hadits di atas dapat kita pahami bahwa beliau terus berpuasa dan di akhir hadits itu dinyatakan tidak sepenuhnya selama sebulan. Entah kurang sehari, dua atau tiga hari. Tapi jelas tidak sebulan penuh.

3. Puasa sampai pertengahan bulan

Di samping hadits-hadits di atas ada juga riwayat yang menyatakan bahwa beliau melarang puasa sunnah bila telah memasuki petengahan bulan.
Abu Hurairah berkata,”Rasulullah bersabda,’Tidak ada puasa (sunnah) setelah pertengahan bulan Sya’ban sampai datang bulan Ramadhan.’” (HR Ibnu Hibban ).

4. Puasa satu atau dua hari saja

Imran bin Hushain berkata,”Rasulullah pernah bertanya kepada seorang laki-laki,’Apakah kamu telah puasa di penghujung bulan Sya’ban ini?’ Ia menjawab,’Tidak’. Sebelum datangnya Ramadhan, maka puasalah sehari atau dua hari.” (HR Muslim).

Hadits tersebut , kata Imam al-Qurthubi, merupakan pembiasaan kebaikan dari Rasulullah agar tidak terputus. Dan itu merupakan anjuran untuk orang yang mukallaf agar tidak melewatkan puasa sunnah Sya’ban begitu saja. Ketika ada shahabatnya yang tidak puasa, beliau menganjurkan puasa barang sehari atau dua hari. Karena hal itu tidak terlepas dari keutamaan puasa bulan Sya’ban yang begitu besar, sayang kalau dilewatkan.

Kalau kita perhatikan hadits-hadits di atas, bisa disimpulkan bahwa puasa di bulan Sya’ban ini hukumnya sunnah. Apabila kita mau mengikuti sunnah Rasulullah untuk berpuasa pada bulan ini, maka puasalah sebulan penuh, sebulan kurang, atau puasa beberapa hari saja.

Mungkin Anda punya pendapat lain tentang puasa Sya’ban ini , saya tunggu komentar Anda .

Sumber Rujukan :

Majalah Ghoib, Edisi 71 Th. 4, 17 Ramadhan 1427 / 7 Oktober 2006

Lanjut membaca “Puasa Sunnah Sya'ban”  »»

Keutamaan Bulan Sya'ban

Oleh Abdul Aziz | 13 Sya'ban 1430

Materi pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah tidak banyak mengulas tentang bulan Sya’ban. Paling-paling hanya sekedar menyebutkan puasa sunnah diantaranya puasa di bulan Sya’ban. Bulan Sya’ban ini termasuk bulan yang disukai Rasulullah SAW, karena menurut beliau pada bulan ini diangkatnya amal-amal kepada Rabbul ’alamin, Allah SWT.


Kalender hijriyah memiliki dua belas bulan sebagaimana kalender masehi. Hanya tahun hijriyah ini dihitung berdasarkan peredaran bulan, sedangkan tahun masehi berdasarkan peredaran matahari. Satu tahun hijriyah yang terdiri dua belas bulan ini disebutkan di dalam Al Quran. ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi,...” ( QS. At-Taubah, 9 : 36 ).

Hari-hari pada penanggalan hijriyah yang dimulai bulan Muharram ini bisa terdiri dari 29 atau 30 hari. Berbeda dengan penanggalan masehi yang bisa berjumlah 28 sampai 31 hari dalam satu bulan. Sehingga setiap tahun terjadi pergeseran sekitar sebelah hari dalam penanggalan masehi. Sebagai contoh, misalnya tahun baru hijriyah 1 Muharram 1427 bertepatan dengan tanggal 31 Januari 2006, tahun baru 1428 pada tanggal 20 Januari 2007, tahun baru 1429 pada tanggal 10 Januari 2008. Sedangkan 1 Muharram 1430 masih di tahun 2008, tepatnya tanggal 29 Desember. Sedangkan tahun baru hijriyyah yang akan datang, tahun 1431, bertepatan dengan tanggal 18 Desember 2009.

Kata Sya’ban, menurut Ensiklopedi Islam, berasal dari kata syi’ab (jalan di atas gunung ). Dikatakan Sya’ban karena pada bulan itu ditemui berbagai jalan untuk mencapai kebaikan. Menurut Syekh ‘Alamuddin as-Sakhawi, kata Sya’ban berasal dari kalimat ‘Tasya’ubil Qabail’ artinya berpecahnya kabilah-kabilah atau berpisah-pisahnya (bercabang-cabang) mereka. Sedangkan Cyril Glasse mengartikan kata Sya’ban sebagai ‘bulan pembagian’.

Bulan Sya’ban yang hari ini memasuki tanggal 13 tahun 1430 memiliki keutamaan. Masyarakat Muslim banyak yang tidak mengetahui bahwa Sya’ban ini termasuk bulan yang disukai Rasulullah SAW. Beliau banyak melakukan puasa pada bulan tersebut, bahkan menurut beberapa riwayat Rasulullah SAW berpuasa sebulan penuh.

Pada bulan Sya’ban ini, amalan-amalan kita dilaporkan kepada Allah SWT oleh malaikat-malaikat pencatat amal, apakah itu amal kebaikan atau amal keburukan. Oleh karena itu Rasulullah SAW banyak melakukan puasa pada bulan ini.

Rasulullah SAW ketika ditanya oleh beberapa orang shahabat tentang latar belakang puasanya di bulan Sya’ban itu, beliau menjawab, “Bulan diangkatnya amal-amal kepada Robbul ‘alamin. Maka aku ingin diangkat amalku dan aku sedang puasa” ( HR. Nasa’i ).

Ada beberapa riwayat hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW sangat mencintai bulan Sya’ban. Kecintaannya itu ditunjukkan melalui sikap dan perbuatannya yang mencerminkan bahwa bulan Sya’ban ini memilki nilai keutamaan tersendiri.

Keutamaan Sya’ban ini disampaikan Rasulullah SAW, yang menurut penilaian para ahli hadits termasuk hadits yang shahih.
Abdullah bin Abi Qais telah mendengar Aisyah berkata, ”Termasuk bulan yang paling disukai Rasulullah untuk melaksanakan puasa adalah bulan Sya’ban, lalu beliau menyambungnya dengan bulan Ramadhan (HR. Ahmad, Abu Daud, dan al-Hakim).

Dalam riwayat lain, Usamah bin Zaid berkata,”Aku telah bertanya,’Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau puasa di bulan=bulan lainnya seperti puasa engkau di bulan Sya’ban?’ Beliau menjawab, ‘Itu adalah bulan yang dilupakan banyak manusia, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Itu adalah bulan di mana amal-amal diangkat kepada Penguasa alam semesta (Allah), dan aku sangat suka jika amalku diangkat dan aku sedang berpuasa.” (HR. Ahmad dan Nasa’i).

Di samping hadits-hadits shahih seperti tersebut di atas, ada beberapa buku yang ditulis berbicara tentang keutamaan bulan Sya’ban. Tapi ada beberapa dalil yang dibuat-buat, bahkan dipalsukan. Sehingga tidak layak untuk dijadikan sebagai landasan akan keutamaan bulan Sya’ban itu sendiri.

Beberapa dalil yang dinyatakan oleh para ulama pakar ilmu hadits sebagai hadits palsu (maudhu’) berbicara tentang keutamaan bulan Sya’ban. Dalil-dalil itu terdapat dalam buku Durratun Nashihin, buku yang banyak dijadikan referensi oleh sebagian masyarakat Muslim di negeri kita.

Riwayat itu di antaranya,”Keutamaan bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya seperti keutamaanku dibanding seluruh para nabi. Dan keutamaan bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan lainnya seperti keutamaan Allah dibanding para hamba-Nya.”

Imam Ibnu Hajar mengatakan,”hadits tersebut palsu (maudhu’). Karena as-Saqthi salah seorang perawinya terkenal sebagai pemalsu hadits dan sanad. Dan perawi-perawi lainnya dalam hadits itu sama sekali tidak pernah meriwayatkan hadits ini. Dengan demikian, jelas sekali bahwa hadits itu buatan as-Saqthi sendiri”.

Walaupun kita mengetahui keutamaan bulan Sya’ban ini, namun kita tidak boleh melakukan sesuatu dengan cara-cara yang tidak dicontohkan Rasulullah SAW. Hadits-hadits shahih di atas menjelaskan kepada kita, bahwa untuk memperoleh keutamaan dari bulan Sya’ban ini dengan melakukan puasa.

Barangkali karena keutamaan itulah yang menjadikan sebagian masyarakat Muslim kita melakukan ibadah dan ritual-ritual tertentu pada pertengahan bulan ini ( nishfu Sya’ban ). Mereka melakukan shalat khusus dan membaca Surah Yasin beberapa kali dengan cara tersendiri. Amalan-amalan itu mereka yakini bisa menambah rizki, memanjangkan umur dan menolak bala. Membaca Surah Yasin tentu sangat baik, tetapi menjadi tidak tepat bila hal itu dilakukan khusus untuk menyambut nishfu Sya’ban dan menganggap bahwa itu ada sumber haditsnya. Dan itu semua tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Bagaimana pendapat Anda ? Komentar Anda sangat diharapkan.

DAFTAR RUJUKAN

Azra, Azyumardi (Pemred). 2001. Ensiklopedi Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve

Glasee, Cyril. 2002. Ensiklopedi Islam (Ringkas), Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Majalah Ghoib, Edisi 71 Th. 4, 17 Ramadhan 1427 / 7 Oktober 2006


Lanjut membaca “Keutamaan Bulan Sya'ban”  »»