Jumat, April 30, 2010

Siswa Baru di Tasikmalaya Disyaratkan Bisa Baca AlQuran

Kamis, 29 April 2010, 19:54 WIB

TASIKMALAYA--Siswa baru akan masuk sekolah pada tingkatan lebih tinggi SMP maupun SMA sederajat harus mampu membaca dan menulis ayat suci Al Quran sebagai salah satu syarat seleksi penerimaan masuk sekolah di Tasikmalaya. "Penerimaan siswa baru sekarang seperti tahun sebelumnya, yakni siswa baru harus bisa baca Al Quran," kata kepala Dinas Pendidikan, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Drs H Endang Suherman, Kamis.
Menurut dia, setiap sekolah swasta terutama negeri yang menggelar penyeleksian murid baru sudah dimbau, yakni selain menguji kemampuan ilmu dan pengetahuan kepada calon siswanya, juga harus ditanya soal kemampuan membaca dan menulis Al Quran. Seleksi tersebut sebagai upaya agar para siswa selain cerdas dalam ilmu dan pengetahuan pada umumnya, juga sebagai memperdalam ajaran agama Islam kepada generasi muda. "Kami harapkan siswa harus mampu membaca maupun menulis Al Quran, selain pintar dalam ilmu pendidikan formalnya," katanya.


Sementara itu kata dia, imbauan tersebut merupakan peraturan dari wali kota Tasikmalaya yang sudah berjalan pada tahun sebelumnya agar seluruh siswa sejak di taman kanak-kanak sudah diajarkan membaca dan menulis Al Quran. Ia menjelaskan, siswa yang sebelumnya pernah sekolah sambil pesantren atau sekolah agama dan memiliki berkas nilai dan bukti bisa baca dan tulis Al Quran maka pihak sekolah dapat langsung menerimanya tanpa harus diuji kembali.
Sedangkan siswa yang belum mampu membaca maupun menulis Al Quran, pihak sekolah harus memanggil orang tua siswa bersangkutan agar melakukan perjanjian untuk membina anaknya hingga bisa baca dan tulis Al Quran. Kata dia, pihak sekolah akan mengetahui siswa yang belum bisa baca Al Quran, sehingga dalam pelaksanaan kegiatan belajarnya siswa bersangkutan akan lebih diperhatikan dengan bimbingan melalui pelajaran agama. "Cara itu untuk memperdalam keagamaan karena di Kota Tasikmalaya ini nuansanya islami," katanya.

Red: Krisman Purwoko
Sumber: ant


Sumber : http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita/10/04/29/113652-siswa-baru-di-tasikmalaya-disyaratkan-bisa-baca-al-quran

Lanjut membaca “Siswa Baru di Tasikmalaya Disyaratkan Bisa Baca AlQuran”  »»

Mengikat Ilmu dengan Mencatat

Rabu, 28 April 2010 pukul 10:09:00

Dyah Ratna Meta Novia

Mencatat menjadi bagian penting dalam perkembangan peradaban Islam.


Ikatlah ilmu dengan cara mencatatkannya. Petuah bijak ini telah mengakar dalam diri kaum intelektual Muslim. Mereka yang masih dalam tahap berguru, melengkapi dirinya dengan bak tinta dan buku tulis. Mereka mencatatkan apa yang disampaikan pada lembaran buku catatan.

Perlengkapan ini digunakan baik oleh para mahasiswa sastra dan ilmu lainnya serta mahasiswa ilmu hadis. Goresan dalam lembaran buku catatan dari materi yang diajarkan oleh para kaum cendekia yang menjadi sumber ilmu, membantu para mahasiswa tetap mengingat apa yang mereka sampaikan.


Kisah tentang bak tinta dan buku catatan ini, diungkapkan sejumlah mahasiswa yang sedang mengikuti perkuliahan di luar rumah seorang sastrawan, Tsa'lab. Mereka melihat menantu Tsa'lab, Al Dinawari bergegas menuju ke tempat gurunya, Sibawayh dan Mubarrad, dengan bak tinta dan buku catatan.

Sosok lainnya, Abu Ali Ibnu Al A'la, dikenal memiliki banyak buku catatan yang sarat ilmu pengetahuan. Bahkan, buku catatan yang dimiliknya memenuhi kamarnya hingga ke bagian atap. Ini menunjukkan bahwa tradisi mencatat menjadi bagian penting dalam perkembangan peradaban Islam.

Seorang ahli filologi, Ibnu Faris, mengungkapkan, sejumlah benda yang menjadikan hatinya begitu bahagia. Menurut dia, pendamping setianya adalah kucing, teman karib jiwanya adalah buku catatan yang selalu dibawanya, dan kekasihnya adalah lampu penerang.

Pentingnya membuat catatan ini, ditegaskan pula oleh sastrawan bernama Ibnu Al Allaf, dalam sebuah eulogy, yaitu syair pujian untuk mengenang seseorang yang telah mangkat, Al Mubarrad. Melalui syairnya, ia mengingatkan pula kemungkinan kematian yang segera menjemput, Tsa'lab.

Dalam syairnya itu, ia mengingatkan agar setiap orang mencatat apa yang diucapkan Tsa'lab. Bahkan, ia mengatakan, kalau saja napas Tsa'lab bisa ditulis maka tulislah pula napasnya. Ia menilai, sangat penting untuk mencatat pengetahuan-pengetahuan yang diucapkan dari mulut-mulut para cendekia.

Ilmu mereka, jelas Al Allaf, sangat berharga. Ia pun menegaskan agar seorang pencari ilmu tak berhenti pada mencatat. Hal lain yang perlu dilakukan adalah mengingat apa yang ada di dalam catatan. Tak heran jika ia mencela orang yang hanya puas dengan catatan yang dimilikinya tanpa berusaha mengingatnya.

Dalam syairnya Al Allaf mengatakan, ''Ia menyimpan ilmu di atas hela-helai kertas, ia kehilangan ilmunya. Memang, lembaran kertas adalah pemelihara ilmu yang buruk.'' Ia mengandaikan, kekayaan seseorang adalah hasil kerja keras tubuhnya. Sedangkan hafalan seseorang adalah hasil kerja keras jiwanya.

Dalam pandangan Al Allaf, langkah seseorang memelihara ilmu pengetahuan dengan cara menghafal memiliki arti bahwa orang itu telah memelihara jiwanya. Dan bagi Muslim, menghafalkan pengetahuan yang tergores dalam lembaran-lembaran buku catatan seolah sebuah kewajiban tak berkesudahan.

Bahkan, saat umur seseorang telah mencapai senja. Ini, terjadi pada sosok Tsa'lab. George A Makdisi dalam Cita Humanisme Islam, menyatakan, suatu saat Tsa'lab yang telah berusia 90 tahun, sedang dalam perjalanan pulang dari masjid selepas menunaikan shalat Ashar.

Tsa'lab menyusuri jalan pulang sambil membaca buku catatannya. Akibat tenggelam dalam bacaan pada buku catatan dan tingkat pendengarannya yang sudah banyak kurang, ia tak menyadari adanya sebuah kereta yang melaju ditarik keledai. Kereta itu pun menabraknya dengan keras.

Selain itu, buku catatan ini tak hanya untuk menuliskan apa yang didiktekan tokoh-tokoh besar dalam bidang ilmu pengetahuan. Buku catatan digunakan sebagai alat untuk mendokumentasikan pengamatan dan penelitian yang dilakukan para ilmuwan.

Bahkan, ada seorang cendekiawan yang dengan waspada menjaga catatan dari hasil penelitiannya itu agar tak disalahgunakan orang. Salah satunya adalah Abu Musa Al Hamid, pakar tata bahasa yang meninggal pada 918 Masehi. Sebelum meninggal, ia menuliskan wasiat terkait buku catatan yang dimilikinya.

Dalam wasiatnya, Al Hamid menginginkan agar buku-buku catatan miliknya itu diserahkan kepada Fatik Al Mu'tadidi, seorang budak yang telah dimerdekakan. Saat itu, Fatik telah menjadi panglima militer pada masa Khalifah Al Muktafi. Ternyata, Al Hamid ingin agar Fatik menghancurkan buku-buku tersebut.

Soal hasil penelitian yang dituliskan dalam buku catatan, Tsa'lab pernah memberikan pujian pada catatan milik Ishaq Al Mawshili, mengenai makna-makna kata yang pernah didengarnya. Ishaq mendengarkan secara seksama dan mencatat ucapan para anggota suku-suku Arab tempat ia melakukan penelitian.

Menurut Tsa'lab, dia tak pernah melihat banyaknya dan ketelitian catatan selain yang ada di rumah Ishaq. Catatan mengenai bahasa-bahasa yang diucapkan suku-suku Arab itu sangat lengkap. Selain di rumah Ishaq, ia memuji pula berlimpahnya buku catatan yang ada di rumah filsuf Muslim ternama, Ibnu Arabi.
Melalui buku-buku catatannya itu, Ibnu Arabi mendapatkan banyak ilmu dan mencatatkan pemikirannya. Dengan ilmunya yang berlimpah, Ibnu Arabi muncul sebagai figur sentral dan menjadi rujukan. ed: ferry


Membuat Indeks

Ada banyak terobosan yang dilakukan intelektual Muslim. Langkah mereka yang mewarnai perkembangan peradaban Islam, tak hanya berhenti pada kegiatan mencatat dan buku catatan. Mereka mampu pula membuat indeks yang salah satu manfaatnya adalah untuk penghimpunan hadis.

Melalui indeks, penghimpunan hadis shahih dengan mudah dilakukan. Ini pun memudahkan kerja bagi para mahasiswa hukum untuk menyusun hadis-hadis tersebut berdasarkan kandungan hukum yang ada di dalam hadis. Ini tak hanya berguna bagi para mahasiswa hukum, tetapi juga mereka yang mengkaji bidang lain.

Sayangnya, pembuatan indeks ini tak berkembang lebih jauh. Sebab, tak ada dorongan yang kuat dari kalangan intelektual Muslim untuk mengembangkannya lebih serius. Sistem indeks ini, hanya berkembang ala kadarnya meski memberi manfaat besar.

Alasannya, mereka berpikir bahwa pencapaian ideal seorang ilmuwan adalah menguasai muatan ilmu pengetahuan dalam otaknya. Layaknya seorang ahli musik yang akan mendapat pujian dan diakui sebagai musisi yang andal jika mampu memainkan musik dengan sangat baik.

Dengan demikian, mereka beranggapan bahwa pengembangan indeks secara lebih jauh, tak akan membantu mereka mencapai posisi tersebut. Maka, lambat laun mereka meninggalkan langkah rintisan yang telah mereka buat sendiri. Lalu, tak ada lagi perkembangan yang sangat berarti dalam bidang ini. dyah ratna meta novia, ed: ferry

Sumber : http://koran.republika.co.id/koran/36/109737/Mengikat_Ilmu_dengan_Mencatat

Lanjut membaca “Mengikat Ilmu dengan Mencatat”  »»

Mewaspadai Gejala Burnout pada Guru

Rabu, 28 April 2010 pukul 10:27:00

Oleh Uus Firdaus, SPd
Guru SMPN 1 Paseh Kab Bandung

Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Freudenberger pada 1973. Ia merupakan seorang ahli psikologi klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Freudenberger memberikan ilustrasi, sindrom burnout seperti gedung terbakar habis (burned-out). Suatu gedung yang mulanya berdiri megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar, yang tampak hanya kerangka luarnya.

Ilustrasi ini memberikan gambaran bahwa orang yang terkena burnout, dari luar segalanya tampak utuh, tapi di dalamnya kosong, penuh masalah.


Burnout terjadi pada sebagian besar orang yang banyak memberikan layanan kemanusiaan, termasuk guru yang memberikan layanan pendidikan pada siswa di sekolah. Apabila terkena burnout, ia akan memiliki efek psikologis yang buruk terhadap rendahnya aspek moral, seperti: membolos, telat kerja, mudah tersinggung, dan keinginan untuk pindah.
Konsep diri dan sikap negatif muncul sehingga perhatian dan perasaan terhadap orang lain jadi tumpul. Dengan demikian, burnout menjadi sebuah risiko dari pekerjaan yang dapat terjadi pada semua profesi, termasuk guru.

Bahkan, menurut Kleiber & Ensman, bibliografi terbaru yang memuat 2496 publikasi tentang burnout di Eropa menunjukkan 43 persen burnout dialami pekerja kesehatan dan sosial, 32 persen dialami guru (pendidik), 9 persen dialami pekerja administrasi dan manajemen, 4 persen pekerja di bidang hukum dan kepolisian, dan 2 persen dialami pekerja lainnya.

Mengapa guru dapat terkena burnout? Menurut Supriadi (2004), mengutip penelitian Fullan dan Stiegerbauer, dalam satu tahun guru berurusan dengan 200.000-an jenis urusan dengan karakteristik berbeda. Ini merupakan sumber stres dan penyebab burnout.

Selain itu, Farber (1991) mengemukakan, keacuhan siswa, ketidakpekaan penilik sekolah/pengawas, orang tua siswa yang tidak peduli, kurangnya apresiasi masyarakat terhadap pekerjaan guru, bangunan fisik sekolah yang tidak baik, hilangnya otonomi, dan gaji yang tidak memadai merupakan beberapa faktor yang turut berperan menimbulkan burnout pada guru. Karena itu, mengajar dapat dikategorikan sebagai pekerjaan dengan tingkat stres tinggi.

Sistem pendidikan memiliki semua elemen yang diasosiasikan dengan stres: struktur yang birokratis, evaluasi yang terus-menerus terhadap proses dan hasil akhir, dan interaksi intensif yang terus meningkat dengan para murid, orang tua murid, rekan kerja, kepala sekolah, dan komunitas.

Selain itu, meningkatnya kenakalan murid, sikap apatis murid, kelas yang terlalu penuh, gaji yang tidak mencukupi, orang tua yang tidak suportif atau selalu menuntut, keterbatasan anggaran, beban administrasi yang terus meningkat, kurangnya dukungan infrastruktur, dan opini publik yang selalu negatif juga berkontribusi pada meningkatnya tingkat stres. Ini mengakibatkan guru mengalami burnout.

Yang paling mengkhawatirkan, ternyata burnout memiliki kecenderungan 'menular'. Bila di sebuah sekolah ada guru yang merasa tertekan dan mengalami burnout, guru-guru lain dapat dengan mudah menjadi tidak puas, sinis, serta malas-malasan. Tidak lama kemudian, seluruh organisasi menjadi tempat yang tidak menarik dan tidak bersemangat. Karena itu, pencegahan terjadinya burnout pada guru perlu diupayakan dengan baik.

Untuk membantu mencegahnya, Sutjipto dalam penelitiannya merekomendasikan agar para pembina lapangan mampu menciptakan birokrasi yang peduli pada kesulitan guru; melakukan pembinaan yang profesional; melakukan hubungan profesional yang tidak kaku, akrab, dan tidak bersikap otoriter; melakukan dukungan sosial yang cukup bermakna kepada guru; dan melakukan kebijakan pembinaan yang dapat meningkatkan kepuasan kerja guru.

Yang lebih penting adalah usaha guru itu sendiri. Guru seyogianya mewaspadai munculnya burnout. Selain merugikan diri sendiri, burnout juga berdampak pada pendidikan dan citra guru yang sampai hari ini perlu diperjuangkan.

Alternatif yang dapat dilakukan, antara lain, menjaga kesehatan fisik dengan olahraga rutin, makan makanan yang halal dan baik; refreshing, rekreasi, hiburan untuk menghilangkan kepenatan; meningkatkan hubungan yang harmonis dengan orang lain; meningkatkan wawasan dengan membaca, menulis, dan ikut kegiatan yang bermanfaat. Dan, jangan lupa tetap berdoa, bertakwa, dan bertawakal kepada Allah SWT.

Sumber : http://koran.republika.co.id/koran/35/109743/Mewaspadai_Gejala_I_Burnout_I_pada_Guru

Lanjut membaca “Mewaspadai Gejala Burnout pada Guru”  »»

Bangkitkan Peradaban Islam

Jumat, 30 April 2010 pukul 08:52:00

JAKARTA -- Umat Islam saat ini sedang mengalami kemunduran dan cenderung diremehkan pihak lain. Secara terpisah, hal ini disampaikan oleh Guru Besar Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, Abdul Hayyi Al Farmawi dan cendekiawan Muslim Iran, Ali Akbar Velayati. Keduanya juga menawarkan sejumlah solusi.

Velayati mengatakan, kemunduran ini dimulai terutama saat kebanyakan umat Islam malas menulis dan belajar tentang sejarahnya. ''Tugas utama generasi Islam sekarang adalah menggali kembali sejarah peradabannya,'' katanya di Jakarta, Kamis (29/4).

Mantan menteri luar negeri Iran yang berbicara dalam seminar yang digelar di Islamic College for Advanced Studies (ICAS) ini, berharap umat Islam mestinya mampu bercermin dari umat pada masa lalu yang menguasai beragam bidang ilmu pengetahuan sekaligus.


Mereka, misalnya, adalah dokter yang juga filsuf Islam, insinyur yang sekaligus seorang ulama. ''Mereka menguasai bidang keilmuan dan tetap membawa nilai Islam dalam hati dan kehidupannya,'' katanya. Mereka pemikir besar yang membangun dunia dan besar dalam lingkungan Islam yang taat.

Sebelum mengalami kemunduran, kata Velayati, Islam bahkan banyak memberikan kontribusi bagi peradaban-peradaban lainya di luar Islam sendiri. ''Bila kita mau melacaknya, banyak sekali peradaban dunia yang menjadi besar karena para pemikir Muslim,'' katanya menegaskan.

Sebut saja, kata dia, tokoh seperti Ibnu Sina dan Jabir Ibnu Hayyan yang dikenal luas selain di dunia Islam. Peradaban Islam jugalah yang berhasil merawat filsafat Yunani. Bahkan, kemudian melahirkan sebuah bidang baru, yaitu filsafat Islam.

Velayati menegaskan pula, umat Islam sekarang ini harus bangga dengan kekayaan yang dimilikinya. Ia prihatin dengan kondisi terkini. Dalam penulisan saja, semuanya distandarkan dengan huruf Latin. Ini menyebabkan semakin sedikit Muslim yang bisa membaca tulisan Arab sekaligus artinya.

Abdul Hayyi Al Farmawi mengatakan, solusi terbaik untuk mencapai kemajuan umat Islam adalah Alquran. ''Kemunduran dan keterbelakangan umat Islam akibat ditinggalkannya ajaran agama dengan cara mengabaikan solusi yang ditawarkan Alquran,'' ujarnya, di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan.

Menurut Al Farmawi, ada sebagian kelompok yang mendorong untuk mengatasi berbagai krisis yang melanda umat Islam dengan mengedepankan akal.
Mereka juga lebih mengandalkan filsafat dan teknologi. Padahal, telah lama dinyatakan bahwa sumber pemecahan itu ada di dalam Alquran.

Ia menegaskan, Allah SWT telah berjanji akan menempatkan orang-orng Muslim sebagai pemimpin di muka bumi. Syaratnya, mereka beriman dengan benar dan menjalankan apa yang ditetapkan dalam Alquran. damanhuri zuhri/c16, ed: ferry

Sumber : http://koran.republika.co.id/koran/14/109914/Bangkitkan_Peradaban_Islam

Lanjut membaca “Bangkitkan Peradaban Islam”  »»

Tingkatkan Pendidikan Islam

Kamis, 29 April 2010 pukul 08:31:00

Eko Widiyatno,
Muhammad Bachrul Ilmi


Pemerintah dinilai kurang perhatian pada lembaga pendidikan Islam.


JAKARTA -- Mantan menteri pendidikan nasional, Yahya Muhaimin, mengatakan, secara umum kualitas lembaga pendidikan Islam belum merata. Cukup banyak lembaga pendidikan yang bisa bersaing dengan lembaga pendidikan umum dan masih banyak juga yang kualitasnya biasa saja.

''Jumlahnya juga tak sebanding antara lembaga pendidikan Islam yang berkualitas dan tidak,'' katanya di Jakarta, Rabu (28/4). Ia mencontohkan, Muhammadiyah memiliki ribuan lembaga pendidikan di Tanah Air, tetapi tidak semua menjadi sekolah unggulan.

Yahya mengatakan, dengan kondisi semacam ini, pengembangan lembaga pendidikan Islam oleh pemerintah sangat diperlukan. Pemerintah bisa membantu meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Islam. Ia yakin, lembaga ini bisa menjadi bagian dalam pembangunan moral bangsa.


Apalagi, jelas dia, selama ini pertumbuhan lembaga pendidikan yang dikelola oleh sejumlah ormas Islam, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Al Irsyad, cukup pesat. Diperlukan adanya upaya untuk meningkatkan kualitas seluruh lembaga pendidikan itu.

Yahya menilai, selama ini pemerintah terlalu berkonsentrasi pada pengembangan kualitas pendidikan di sekolah negeri. ''Tak ada cukup perhatian dalam pengembangan pendidikan bagi sekolah swasta, terutama lembaga pendidikan Islam,'' ungkapnya.

Selain itu, ia menyatakan, dukungan pemerintah kepada guru lembaga pendidikan Islam swasta tak sebesar guru sekolah umum. Ini bisa ditunjukkan dengan minimnya dukungan pemerintah daerah terhadap guru madrasah. Ia menyatakan perlu ada solusi dari Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional.

Sementara itu, Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, Imam Suprayogo, mengakui, pendidikan Islam memang terus mengalami peningkatan. Pemicunya, banyak orang tua menginginkan anak mereka tidak hanya memiliki pengetahuan umum, tetapi juga agama.

Orang tua, kata Imam, berharap anaknya menjadi manusia intelektual dan berakhlak. Mereka juga bangga anak-anaknya belajar di lembaga pendidikan Islam. Dengan demikian, pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya saat ini menjadi solusi pendidikan alternatif bagi masyarakat.

Di sisi lain, Imam berharap, pemerintah memberikan pengakuan lebih besar kepada lembaga pendidikan Islam, terutama pesantren. Ini bisa dilakukan dengan menerapkan progranm standardisasi sehingga alumni pesantren memiliki ijazah resmi dan bisa bersaing dengan lulusan sekolah mana pun.

''Ulama sering kita mintai nasihat dan fatwa, tetapi lembaga yang menghasilkan ulama tak diakui oleh negara,'' kata Imam. Menurut dia, ada tiga ukuran yang bisa digunakan pemerintah dalam memberikan pengakuan terhadap pesantren. Salah satunya adalah sejarah keberadaan pesantren.

Indikator ini bisa digunakan untuk mengetahui sejauh mana kiprah dan kontribusi pesantren sebagai lembaga pendidikan. Kedua, resonansi atau daya jangkau. Ketiga adalah kontribusi alumni pesantren kepada masyarakat.

Santri indigo

Secara terpisah, dalam pelatihan Santri Indigo di Pondok Pesantren Al Ittihaad, Karanglewas, Banyumas, Direktur Information Technology and Supply PT Telkom Indonesia, Indra Utoyo, menegaskan, santri yang menimba ilmu di pesantren saat ini tak identik dengan keterbelakangan.

Ia mengatakan, ini terbukti dari apresiasi para santri dalam acara yang digelar atas kerja sama PT Telkom Indonesia dengan Republika itu. Saat tanya jawab dalam pelatihan, kebanyakan santri sudah mengetahui banyak hal tentang dunia internet dan konten-konten yang ada di dalamnya.

ed: ferry
Sumber : http://koran.republika.co.id/koran/14/109821/Tingkatkan_Pendidikan_Islam

Lanjut membaca “Tingkatkan Pendidikan Islam”  »»

Tradisi Mengoleksi Buku

Senin, 26 April 2010 pukul 11:29:00

Buku dianggap sebagai hiburan bagi pikiran dan teman terbaik.

Dyah Ratna Meta Novia



Sebuah pujian terlontar dari mulut Ibnu Arabi. Pujian itu bukan berupa kekaguman terhadap kecantikan seseorang atau ketakjuban pada keindahan sebuah bentangan alam. Pujian dari ilmuwan Muslim ternama ini disematkan pada buku yang dianggap sebagai teman terbaik.

Menurut Ibnu Arabi, buku tak akan membuat seseorang menjadi bosan. Ia mengatakan, buku pun mengajarkan masa lalu dengan bukti-bukti kuat, akhlak yang baik, dan nasihat yang bagus. Ia mengatakan, buku-buku itu melakukannya tanpa rasa takut dan tak dengan sikap memusuhi.


Menghimpun ilmu dalam sebuah buku memang telah mentradisi. Hal ini dilakukan para ilmuwan Muslim untuk melestarikan ilmu yang ia kuasai. Lalu, buku itu menjadi rujukan bagi orang-orang yang sezaman ataupun penerus mereka. Pada masa Islam, kecintaan terhadap buku terlihat begitu besar.

Kecintaan itu seperti yang ditunjukkan Ibnu Arabi dalam pujiannya terhadap buku. Banyak kalangan telah memiliki kesadaran akan pentingnya buku. Mereka adalah para cendekiawan, ahli fikih, ataupun para pejabat tinggi dan masyarakat lainnya.

Selain Ibnu Arabi, para ahli fikih sangat suka memiliki beragam buku. Koleksi buku mereka tak melulu soal agama. Mereka pun memiliki buku-buku filsafat dan kalam. Mereka mendalaminya untuk memperluas cakrawala pengetahuan saat kelak berhadapan dengan para filsuf.

Sebenarnya, sejumlah ahli fikih ada yang melarang buku-buku filsafat, terutama untuk diajarkan di sekolah-sekolah agama. Sebab, mereka menilai, pemikiran filsafat ada yang bertentangan dengan agama. Namun, mereka mengoleksi dan mengkajinya.

Selain itu, mereka mengakui, dari sisi metodologi dan substansi, buku-buku kajian filsafat itu bermanfaat. Mereka juga memuji sejumlah siswa yang telah mencapai tingkat pemahaman agama yang tinggi, lalu melakukan kajian terhadap buku-buku filsafat.

Bahkan, menurut Goerge A Makdisi dalam Cita Humanisme Islam, seiring berjalannya waktu, para ahli fikih itu berkutat dengan pemikiran filsafat dan logika Yunani. Mereka adalah para intelektual ternama, seperti Ibnu Aqil, Al Ghazali, Al Amidi, Fakhr al-Din al Razi, Ibnu Taymiyah, dan Al Tufi.
Soal buku, seorang ilmuwan bernama Ibnu Durayd menyatakan, buku merupakan penghibur bagi pikiran. Suatu hari, ia menghadiri sebuah pertemuan. Sejumlah orang dalam pertemuan itu menyampaikan beberapa tempat yang dianggap sebagai tempat indah dan menyenangkan.

Di tengah lontaran pernyataan, Durayd menyampaikan pendapatnya. Ia menyatakan, tempat-tempat itu hanyalah hiburan untuk mata. Namun, pikiran yang ingin dihibur dapat berpaling pada buku. Lalu, ia menyebutkan tiga buku favoritnya yang layak sebagai penghibur pikiran.

Buku-buku itu, kata Durayd, adalah Uyun Al Akhbar atau Kisah Pilihan karya Ibnu Qutaybah, Kitab Al Zahra atau Buku tentang Bunga karya Muhammad ibn Dawud, dan Qalaq Al Musytaq atau Kegelisahan karena Rindu yang ditulis oleh Ahmad Ibnu Abi Thahir.

Bahkan, ada kisah yang dikutip George A Makdisi dari seorang ilmuwan bernama Al Tawhidi terkait masalah buku ini. Ini soal langkah yang dilakukan Al Hasan Ibnu Ustman Al Qatari. Waktu itu, Al Qatari memutuskan menguburkan buku-buku yang dimilikinya sebab ia ingin menjalani kehidupan sufi.

Lalu, Al Qatari bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat Nabi Muhammad di sebuah masjid sedang membagi-bagikan batang pena yang menebarkan bau harum. Namun, ia tak diberi batang pena itu. Ia pun bertanya kepada Nabi SAW, mengapa ia tak mendapatkan bagian.

Nabi SAW menjawab, bagaimana ia akan memberikan batang pena tersebut kepada Al Qatari yang telah menguburkan ilmu-ilmu yang telah diwariskan Nabi SAW. Bahkan, seorang perdana menteri pun merasakan kebahagiaan saat menerima hadiah sebuah buku.

Saat turun dari kapal yang mengantaran cendekiawan Jahiz dari Bashrah ke Baghdad untuk mengunjungi Perdana Menteri Ibnu Al Jayyat, ia mendengar seseorang berteriak nyaring mengumumkan adanya pelelangan buku karya seorang filsuf Al Farra.

Sayang, ketika tiba di tempat pelelangan, tak ada lagi salinan buku yang dianggap berharga dan pantas diberikan kepada perdana menteri yang juga seorang sastrawan itu. Kemudian, pelelang mengambil sebuah buku yang disimpannya, yaitu karya ahli bahasa Sibawayh yang berjudul Al Kitab. Sang perdana menteri pun bahagia.

Kekayaan untuk buku
Atas kecintaan terhadap buku, sejumlah kaum terpelajar membelanjakan harta dan warisannya demi menambah koleksi bukunya. Sebut saja ahli bahasa, Ibnu Al Kui, yang meninggal pada 959 Masehi. Saat masih hidup, ia mendapatkan warisan harta sebesar 50 ribu dinar.

Ia tak tergiur untuk menghamburkan hartanya untuk kesenangan ragawi. Namun, ia memilih menggunakan hartanya untuk keperluan belajar dan membeli buku. Ia membeli buku yang ia inginkan demi menambah koleksi buku yang berjajar di perpustakaan pribadinya.

Di sisi lain, ada Abu Bakar Ibnu Jarrah. Ia mengikuti jejak gurunya, Ibnu Durayd, yang gandrung terhadap buku. Ia menjadi seorang sastrawan yang sangat kaya raya. Ia sempat mengumumkan kekayaannya. Salah satunya adalah koleksi buku yang nilainya mencapai 10 ribu dirham. ed: ferry


Merebaknya Perpustakaan

Merebaknya kecintaan terhadap buku, melahirkan banyak perpustakaan. Ada perpustakaan umum tapi banyak pula milik pribadi. Tak sedikit, kaum cendekiawan yang berburu buku. Lalu, mereka menempatkannya di sebuah ruang khusus yang akhirnya menjelma menjadi perpustakaan.

Banyak buku yang menjadi koleksi mereka merupakan buku salinan. Sebab, saat itu percetakan belum berkembang. Perpustakaan yang berawal dari koleksi buku di antaranya adalah perpustakaan milik Bulmuzaffar Ibnu Mu'arrif, seorang sastrawan dan filsuf.

Bulmuzaffar dikenal sebagai kolektor buku, juga seorang pembaca sekaligus penyalin buku yang sangat tekun. Penulis biografi dan ahli logika, Sadid Al Din, menggambarkan ruangan di dalam rumah Bulmuzaffar yang sangat luas dan dipenuhi ribuan buku. Itulah perpustakaan Bulmuzaffar.

Di ruang perpustakaan miliknya, Bulmuzaffar sering menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan menyalin buku. Dia memiliki koleksi buku dari berbagai macam bidang ilmu pengetahuan dan di setiap halaman depan bukunya tertulis anekdot yang berkaitan dengan isi buku tersebut.

Nama lainnya adalah Mubasysyir Ibnu Fatih, seorang sastrawan dari Mesir. Ia hidup pada masa Khalifah Al Muntashir dari Bani Fatimiyah. Untuk menambah koleksi buku perpustakaannya, ia menulis buku sejarah tentang Khalifah Al Muntashir, yang berkuasa antara tahun 1036 hingga 1094, dalam tiga jilid.

Mubasysyir adalah murid para ilmuwan terkenal seperti Ali Ibnu Ridwan yang ahli di bidang kedokteran, Ibnu Al Haytham dalam bidang astronomi, fisika, dan optik, serta Ibnu Al Amidi yang ahli dalam bidang filsafat. Demikian pula dengan Abu al Hasan Ibnu Abu Jarada.

Ia mengoleksi buku dan kemudian mendirikan perpustakaan. Ia sering pula menyalin sendiri buku-buku berharga yang kemudian menjadi bagian dari koleksi buku di perpustakaan miliknya. dyah ratna meta novia, ed: ferry

Sumber : http://koran.republika.co.id/koran/36/109571/Tradisi_Mengoleksi_Buku

Lanjut membaca “Tradisi Mengoleksi Buku”  »»