Senin, Agustus 30, 2010

Meneladani Sifat Rasul dalam Pembelajaran Jurnalistik

Oleh Nana Jiwayana, SPd
(Guru dan Pembina UKS Jurnalistik SD Islam Terpadu Attaqwim, Bandung)

Dunia jurnalisme saat ini yang banyak menampilkan acara infotainment sedikit banyak berpengaruh pada perkembangan siswa. Laporan infotainment yang cenderung berupa laporan nonfaktual-lebih identik dengan kesan gosipnya-telah memberikan masukan buruk bagi siswa-siswa kita.

Hal ini diperburuk dengan materi laporannya yang banyak menggunjing tingkah laku buruk dari selebritas yang tidak menutup kemungkinan malah dicontoh siswa-siswa kita.


Sehubungan dengan hal tersebut, sudah seharusnya sebagai pendidik kita memberikan teladan/model yang baik, khususnya dalam mengajarkan prinsip-prinsip jurnalisme sehingga siswa tidak terjebak pada arus jurnalisme yang tidak memberikan manfaat dan pendidikan bagi siswa.

Ada banyak model jurnalistik yang bisa kita jadikan contoh, tetapi model terbaik yang patut kita jadikan contoh tentunya terdapat pada sosok Nabi Muhammad SAW.

Bagaimana menjadikan sosok Nabi Muhammad sebagai teladan dalam pembelajaran jurnalistik? Nabi Muhammad memang tidak melakukan aktivitas jurnalistik sebagaimana kita pahami tentang jurnalistik modern seperti saat ini. Namun, dari sifat mulia yang beliau miliki, kita bisa belajar menjadi seorang jurnalis sejati.

Ada empat sifat utama yang dimiliki nabi. Keempat sifat itu adalah siddiq, fathanah, amanah, dan tabligh. Keempat sifat inilah yang bisa kita jadikan teladan dalam membentuk siswa agar menjadi seorang jurnalis yang andal.

Sifat pertama yang harus ditanamkan pada siswa sebagai pembelajar atau calon jurnalis adalah siddiq, sifat benar dan komitmen untuk memberitakan kebenaran. Kita harus senantiasa mengajari siswa agar mampu menebarkan berita-berita yang benar atau sesuai fakta, bukan sebaliknya malah memberitakan berita-berita gosip dan kebohongan.

Sifat nabi kedua yang dapat kita teladani adalah fathanah yang artinya cerdas. Dari sifat ini, kita dapat mengambil pelajaran agar selalu menanamkan kecerdasan kepada siswa, baik dalam mencari, mengolah, maupun dalam menyampaikan informasi. Dari sifat fathanah ini, kita juga harus bisa mendidik siswa agar cerdas memilih informasi agar bisa mencerdaskan para pembacanya.

Sifat nabi berikutnya adalah amanah, yang artinya dapat dipercaya atau bertanggung jawab. Seorang jurnalis haruslah merupakan sosok yang bertanggung jawab terhadap tulisan yang dibuatnya.
Sebagai pendidik, kita harus bisa mengajari siswa-siswa menjadi seorang jurnalis yang bertanggung jawab dengan mengarahkan agar tulisan yang dibuatnya tidak memberikan dampak buruk bagi pembacanya. Tulisan siswa harus diarahkan menjadi tulisan yang memberikan manfaat bagi kehidupan pembacanya.

Sifat nabi terakhir adalah tabligh, yang artinya menyampaikan. Pembelajaran dari sifat ini adalah kita harus mengarahkan siswa agar memiliki sikap menyampaikan informasi seutuhnya sebagaimana nabi yang selalu menyampaikan wahyu dari Allah SWT kepada manusia tanpa dikurangi atau ditambahkan.

Dengan model pembelajaran jurnalistik berdasarkan sifat nabi ini, mudah-mudahan kita mampu membentuk siswa jurnalis sejati dengan sifatnya yang jujur, cerdas, bertanggung jawab, dan menyampaikan secara benar.



Sumber : Republika, Rabu, 25 Agustus 2010

Lanjut membaca “Meneladani Sifat Rasul dalam Pembelajaran Jurnalistik”  »»

Pendidikan Karakter dari Guru Berkarakter

Pendidikan akhlak dan karakter harus dilakukan dengan kebiasaan.

Dering telepon berbunyi di rumah-rumah siswa SD Al-Hikmah Surabaya sesaat setelah azan Subuh berkumandang. Itu merupakan tugas tiap wali kelas mengawali kegiatan rutin sekolah.

Begitu jam masuk kelas akan tiba; kepala sekolah, wali kelas, dan guru sudah berdiri di depan sekolah menyambut siswa-siswanya dengan mengucap salam. Para siswa juga menyapa satu sama lain dan mengucap salam.

Aktivitas kemudian dilanjutkan di ruang kelas. Seorang anak memimpin doa untuk mengawali kegiatan di dalam kelas. Sebelum mulai aktivitas belajar mengajar, guru membangun diskusi ringan dengan siswa, dilanjutkan dengan berinfak (memberikan sumbangan sukarela untuk orang tidak mampu). Tiap siswa memasukkan uang infak ke dalam kotak amal yang ada di tiap kelas.


Sampai waktu istirahat siang hari, seluruh siswa dengan spontan berhamburan ke masjid di lingkungan sekolah untuk shalat Zuhur berjamaah. Setelah itu, siswa dengan tertib masuk ke ruang makan. Setiap hari, sekolah memang menyediakan makan siang.

Selain belajar, para siswa di sekolah ini juga melakukan kegiatan di luar kelas, antara lain olahraga, merawat tanaman, dan merawat binatang. Ada juga kegiatan yang terprogram (ekstrakulikuler), antara lain business day, cooking class, pameran lukisan, dan berbagi infak dengan sesama.

Percontohan

Pembina Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Al-Hikmah Surabaya, Abdul Kadir Baraja, mengatakan, yayasan yang dipimpinnya bertujuan mengedepankan lahirnya generasi berakhlakul karimah dan berprestasi akademis optimal.

Dia mengatakan, Al-Hikmah Surabaya adalah sekolah Islam berbasis pendidikan karakter. Hingga kini, keberadaan sekolah ini menjadi percontohan bagi penerapan pendidikan karakter di Surabaya. “Saya senang karena sekolah Islam menjadi panutan dalam pendidikan karakter,” ucapnya.

Lelaki paruh baya itu menyadari betapa pentingnya akhlak dan karakter yang baik perlu ditanamkan sejak dini. Karena itu, nilai-nilai akhlak dan karakter harus ditanamkan melalui kegiatan rutin harian. “Pendidikan akhlak dan karakter harus dilakukan dengan kebiasaan,” ujar Abdul Kadir di Surabaya, beberapa waktu lalu.

Menurut Abdul Kadir, akhlak dan karakter sudah tertanam pada diri siswa bila sudah mempunyai kesadaran berperilaku baik dan bertanggung jawab pada diri sendiri. Dia mengatakan, terkadang siswa curhat kepada guru bahwa mereka yang selalu menasihati orang tua untuk shalat.

Itu karena di sekolah sudah ditanamkan akhlak dan karakter melalui pembiasaan dan kegiatan rutin. “Kalau anak sudah shalat tanpa disuruh, itu karakter,” kata pria berwajah Arab itu.

Dengan kesadaran berakhlak dan berkarakter baik, siswa memiliki tanggung jawab untuk menuntut ilmu dengan serius. Tak mengherankan, kata Abdul Kadir, sebagian besar lulusan siswa Al-Hikmah dapat masuk ke sekolah negeri favorit. “Kunci terpenting ada pada guru yang berkompeten,” kata dia.

Abdul Kadir mengungkapkan, biaya termahal dalam pengelolaan sekolah di Al-Hikmah Surabaya adalah pelatihan guru. Hal itu dianggap penting dilakukan untuk mendidik guru yang berkarakter.

Dari guru

Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Muchlas Samani, berpandangan senada. Menurut Muchlas, pendidikan karakter di sekolah harus dimulai dari guru yang berkarakter.

Muchlas mengungkapkan, pendidikan karakter di Indonesia sudah sangat mendesak, mengingat serentetan persoalan moral yang kerap terjadi di kalangan pelajar. Contohnya, tawuran, plonco, tidak sopan kepada guru, dan pergaulan bebas.

Karena itu, pendidikan karakter dapat menjadi kunci perbaikan persoalan tersebut. “Pendidikan karakter bukan barang baru. Implementasinya saja belum maksimal,” ujar Muchlas.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan (SKL-SP) Dasar dan Menengah, ditegaskan bahwa SKL-SP dikembangkan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan.

Secara umum, kata Muchlas, lulusan satuan pendidikan dasar yang meliputi SD/SMP (sederajat) dan pendidikan menengah meliputi SMA/SMK (sederajat) bertujuan meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, dan akhlak mulia.

Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), jelas Muchlas, memberikan pendidikan karakter kepada para pendidik untuk mewujudkan agenda nasional tersebut. Setiap tahun, sebanyak 70 ribu guru akan diasramakan di perguruan tinggi negeri (PTN) guna mendalami pendidikan karakter.

Selain itu, dalam pola baru yang diterapkan tahun ini, para calon guru yang sudah lulus S1 harus mengikuti pendidikan profesi guru selama satu tahun.

Muchlas mengatakan, pemberian materi pendidikan karakter tidak bisa ditransfer seperti umumnya kuliah. Melalui sistem asrama, teori pendidikan karakter dapat secara langsung dipraktikkan secara terus-menerus. “Jadi, setahun penuh tinggal di asrama. Berbagai kebiasaan perilaku baik ditumbuhkan,” ujarnya.

Sebagai salah satu penggagas pendidikan karakter, Muchlas mengatakan, PTN yang akan menampung 70 ribu guru adalah perguruan tinggi yang mengadakan program pendidikan guru, seperti Unesa dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Sampai saat ini, ada 324 perguruan tinggi yang mengadakan program pendidikan karakter guru.
Program asrama, jelas Muchlas, diberikan melalui program beasiswa. “Setelah diasramakan, ada ikatan dinas sehingga guru dapat disebar di daerah yang kurang guru,” tuturnya.

Meskipun jumlah guru yang akan diasramakan hanya 70 ribu guru atau 2,5 persen dari jumlah guru sebesar 2,6 juta orang, diharapkan secara bertahap hal itu akan bermanfaat bagi pengembangan pendidikan karakter. Nantinya, dalam 10 tahun, akan ada 10 guru yang menjadi agen pendidikan karekter.

Sementara itu, pendidikan karakter di tingkat perguruan tinggi ditumbuhkan dengan budaya kampus. Memang, kata Muchlas, karakter itu harus ditumbuhkan melalui kebiasaan dan dibudidayakan, sebagaimana diterapkan di SD Al-Hikmah Surabaya. n c06, ed: burhanuddin bella


Sumber : Republika , Rabu, 25 Agustus 2010

Lanjut membaca “Pendidikan Karakter dari Guru Berkarakter”  »»

Lima Karakteristik Kerja Guru

Oleh Tata Tambi
Guru Bahasa Indonesia MAS Ibnu Taimiyah, Bogor.

Salah satu indikator perhatian pemerintah dalam dunia pendidikan adalah realisasi anggaran 20 persen dari APBN. Hal itu dilengkapi program sertifikasi guru dan dosen yang diharapkan dapat mendongkrak kesejahteraan guru dan dosen di Indonesia.

Pertanyaannya, sejauh mana peningkatan kinerja dan profesionalitas guru sudah tercapai seiring dengan perbaikan-perbaikan, terutama program sertifikasi yang telah menyedot banyak biaya?

Jawaban yang mengemuka umumnya bernada pesimistis. Berbagai upaya perbaikan yang menelan biaya besar belum diimbangi oleh peningkatan kinerja dan profesionalitas pendidik, baik di jenjang pendidikan dasar dan menengah maupun pendidikan atas dan tinggi.


Penelitian Kementerian Pendidikan Nasional yang dirilis akhir 2009 menunjukkan, 55,33 persen guru yang menjadi responden justru tidak meningkat kompetensi pedagogisnya.

Bahkan, kinerja guru di NTB ditengarai memburuk pascamenerima sertifikat bukti lulus sertifikasi. Dari 11.606 guru yang sudah sertifikasi di NTB, 20 persen kinerjanya dinyatakan anjlok oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan.

Bagaimana sebenarnya karakteristik kerja seorang guru? Hamid Darmadi (2009: 26-27) mengatakan setidaknya ada lima karakteristik kerja guru.

Pertama, pekerjaan guru bersifat individualistis nonkolaboratif. Ini bermakna, guru dalam melaksanakan tugas-tugas pengajarannya memiliki tanggung jawab secara individual. Dari waktu ke waktu guru dihadapkan pada pengambilan keputusan dan melakukan tindakan secara mandiri.

Contoh, ketika kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung, ada siswa tertidur sehingga menimbulkan kegaduhan siswa yang lain maka saat itu juga guru harus mengambil tindakan. Tidak mungkin ia meminta pertimbangan guru yang lain lebih dulu. Maka itu, wawasan dan kecermatan sangat penting bagi seorang guru.

Kedua, pekerjaan guru dilakukan dalam ruang terisolir dan menyerap seluruh waktu. Hampir seluruh waktu guru dihabiskan di ruang-ruang kelas bersama para siswanya.

Ruang kelas di sini bisa diartikan ruang kelas konvensional ataupun kelas dalam arti luas, yaitu tempat berlangsungnya pembelajaran walaupun bukan di ruangan. Keberhasilan kerja guru tidak hanya ditentukan oleh kemampuan akademik, tapi juga motivasi dan dedikasi guru untuk terus dapat menghidupkan suasana kelas sehingga siswa terhindar dari kejenuhan.

Ketiga, pekerjaan guru yang kemungkinan terjadinya kontak akademis antarguru rendah. Kalau seorang arsitektur bertemu teman sejawat, sangat mungkin tema pembicaraan adalah penemuan teknik terbaru dalam merancang bangunan. Saat perancang busana bertemu teman seprofesi, kemungkinan besar membicarakan model terbaru yang sedang berkembang.
Akan tetapi, apabila guru bertemu dengan guru, apa yang dibicarakan? Inilah yang dimaksud kontak akademis antarguru yang rendah.

Keempat, pekerjaan guru tidak pernah mendapat umpan balik. Umpan balik adalah informasi baik berupa dukungan maupun kritikan terhadap guru tentang proses KBM. Padahal, berdasarkan umpan balik inilah guru akan melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas KBM. Pertanyaannya, kalau guru tidak pernah mendapatkan umpan balik, bagaimana guru dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pengajarannya?

Kelima, pekerjaan guru memerlukan waktu untuk mendukung waktu kerja di kelas. Waktu kerja guru tidak hanya terbatas di ruang kelas. Dalam banyak hal, justru waktu guru untuk mempersiapkan KBM di kelas lebih lama.

Di tengah-tengah padatnya kegiatan guru, kapankah guru dapat merenungkan dan merefleksikan apa yang telah dilakukan bagi para siswanya? Kondisi di sekolah atau madrasah swasta lebih memprihatinkan lagi. Seorang guru tidak hanya dibebani jumlah jam mengajar yang padat, tapi juga posisi lainnya yang menyita waktu di luar jam pelajaran.

Menjadi sangat penting bagi seorang guru untuk mengenal dan memahami lima karakteristik kerja guru. Menjadi guru di era informasi sekarang memang di satu sisi memiliki tantangan yang lebih berat karena pola pikir dan pola belajar siswa banyak berubah dari era sebelumnya. Banyak sisi negatif perkembangan teknologi yang lebih menonjol terserap oleh siswa ketimbang sisi positifnya.

Harapan kita para guru tidak hanya meningkat dari sisi kualifikasi akademik, tetapi juga diimbangi meningkatnya mutu kerja yang dapat meningkatkan mutu siswa dan akhirnya out put (lulusan) semakin meningkat pula mutunya.

Kepada para guru, mari kita mulai dari diri kita masing-masing. Terus tingkatkan mutu diri dan jangan lupa terus asah mutu kerja menuju dunia pendidikan Indonesia yang lebih baik.


Sumber : Republika , Rabu, 18 Agustus 2010

Lanjut membaca “Lima Karakteristik Kerja Guru”  »»