Minggu, Oktober 31, 2010

Pemerintah Diminta Lebih Perhatikan Nasib Dai dan Mubaligh

REPUBLIKA.CO.ID,MAKASSAR--Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) meminta pemerintah untuk lebih memperhatikan nasib para guru agama Islam non formal seperti ustad dan mubalihg di seluruh Indonesia. Menurut Ketua MUI, KH Umar Shihab, pemberian insentif yang layak kepada para guru tersebut guna merangsang mereka lebih mendedikasikan pengajarannya kepada masyarakat.

''Dengan adanya insentif yang diberikan kepada para dai dan mubaligh seperti apa yang dilakukan pemerintah propinsi Sulawesi Selatan ini membuat mereka akan lebih giat dan berkonsentrasi dalam mensiarkan segala ajaran yang terkandung di Alquran. Ini perlu dicontoh oleh daerah lain,'' cetusnya seusai pertemuan dengan seluruh ormas islam dan pemerintah propinsi Sulsel di Makasar.


Pemahaman ajaran islam yang menyeluruh dan mendalam di masyarakat dapat meminimalisir dan menghilangkan praktek radikalisme yang sering terjadi saat ini. ''Pemahaman Agama Islam yang setengah-setengah menyebabkan timbulnya radikalime disebagian besar negara yang berpenduduk Muslim bahkan tidak terkecuali di Indonesia,'' tegas Umar.

Lebih jauh Umar mengatakan, banyaknya praktek radikalisme di Indonesia ditengarai adanya beberapa faktor antara lain kurangnya perhatian dan pembinaan pemerintah terhadap kelompok-kelompok yang merasa termajinalkan. Akibatnya, kelompok ini selalu menggunakan ajaran agama tertentu sebagai pembenaran. ''Ini jelas tidak bisa dibiarkan, MUI dan ormas Islam tidak bisa berkerja sendiri tanpa adanya dukungan dan perhatian pemerintah baik di pusat atau di daerah bahkan hingga ke pedesaan kalau perlu membantu mereka (ustad dan mubaligh),'' lanjutnya.

Ditempat yang sama, Ketua Umum LDII, KH Abdullah Syam, mengatakan pembinaan terhadap para guru agama non formal ini tidak bisa dibebankan kepada MUI saja melainkan tanggung jawab seluruh ormas Islam di Indonesia dan peran serta pemerintah. ''Tugas MUI adalah menjaga Ukhuwah Islamiyah atau persatuan dan perdamaian umat di Indonesia. Nah, tugas ormas Islam dan pemerintah baik pusat atau daerah adalah berusaha untuk memperhatikan nasib para dai di daerahnya masing-masing,'' imbuhnya.

LDII berharap Kementrian Agama dan kementrian Pendidikan Nasional bisa mempunyai program yang sinergi dalam memberantas buta aksara Alquran seperti halnya pendidikan dasar 9 tahun yang telah dilaksanakan saat ini. ''Kita dan MUI berharap adanya program yang komperhensif dari pemerintah untuk menangani masih banyaknya umat Islam di Indonesia yang masih belum bisa membaca dan memahami makna yang terkandung didalam Alquran,'' tuturnya.

Red: Budi Raharjo
Rep: Antara

Republika OnLine, Senin, 25 Oktober 2010, 13:06 WIB

Source URL : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/10/25/142255-pemerintah-diminta-lebih-perhatikan-nasib-dai-dan-mubaligh

Lanjut membaca “Pemerintah Diminta Lebih Perhatikan Nasib Dai dan Mubaligh”  »»

Lembaga Pendidikan Islam tak bisa Menutup Diri

YOGYAKARTA--Lembaga Pendidikan Islam pada era teknologi ini bukan lagi perlu membuka diri terhadap perkembangan kemajuan zaman. Justru, menurut Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogjakarta, Prof Dr Amien Abdullah, tidak bisa menolak perkembangan tersebut.

Perkembangan dan kemajuan tehnologi dikatakan tak mungkin bisa dihambat. Sehingga, meski anakl-anak itu berdomisili di desa, bukan berarti ketinggalan teknologi. ‘’Akal mereka cepat sekali. Bahkan, akal mereka itu sudah akal teknologi,’’ jelas Amien Abdullah.

Makannya, dia mengingatkan agar tidak under estimate terhadap anak-anak di desa. Apalagi pada siswa-siswi madrasah yang selama ini dinilai masih banyak yang ketinggalan dalam mengikuti perkembangan teknologi.


Menurut dia, ‘’virus’’ untuk selalu dekat dengan information communication technology (ICT) berjalan dengan sendirinya. Kendati di madrasah-madrasah yang ada di deda masih belum dilengkapi dengan fasilitas tehnologi, anak-anak madrasah desa itu diyakini bakal berjalan sendiri untuk mencari peralatan modern yang selama ini penuh dengan kontroversial tersebut. Sebab, nilai yang dikandung selalu berekses, baik itu negatif maupun positif.

Makanya, para pemegang kebijakan, termasuk pendidik dan pihak-pihak yang peduli terhadap anak-anak madrasah itu diharapkan tidak hanya bisa membelikan atau menyediakan fasilitas ICT tersebut. Namun, bisa mengarahkan dan mendidikan mereka untuk menyeleksi sendiri mana yang sampah dan mana yang bermanfaat.

Pesan tersebut, kata dia, harus dilakukan para ulama dan penulis kontemporer. Baik itu penulis di bidang pendidikan, maupun nonkependidikan. Mereka diharapkan bisa memberikan informasi yang lengkap tentang manfaat ICT secara lengkap dan detail.

Alasannya, anak-anak jaman sekarang tidak bisa hanya diberi penjelasan secara normatif. ‘’Ini boleh, itu tidak boleh tanpa ada alasan yang rasional dan bisa dimengerti mereka,’’ tandasnya.

Untuk itu, terang dia, tidak perlu filter dalam mengatasi ekses negatif perkembangan ICT tersebut. Namun,tegas dia, bagaimana caranya mencerdaskan anak dengan urai-uraian yang logis, jernih mudah dimengerti,’’ tuturnya.

Karena itu, kata dia, cara mendidik anak dalam menyikapi dan menerima perkembangan kemajuan ICT itu harus berubah, tidak hanya normatif. Namun, bisa membuat anak didik kreatif. ‘’Tidak malah membunuh kreativitas anak didik,’’ papar dia.

Itulah perlunya pendidikan agama, kata dia, yang bisa menyentuh media. Sehingga, tidak sedikit-sedikit keluar fatwa pengharaman seperti pada facebook. Untuk itu dia mengimbau agar para ahli memasuki wilayah media tehnologi. Sebab, pendidikan Islam memang tidak mungkin untuk menutup diri dari perkembangan tehnologi itu sendiri.

Sementara itu, Dirjen Pendis Depag, Prof Dr Moh Ali, mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam di bawah naungan Departemen Agama (Depag) sudah membuka diri terhadap setiap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai indikatornya dia menyebut pemanfaatan ICT.

''Bukan lagi hampir semua, tapi 100 persen lembaga pendidikan Islam yang ada di bawah binaan Depag sudah membuka diri seluas-luasnya terhadap perkembangan science dan tecnology. Bahkan, pemanfaatan ICT itu sudah lama diterapkan,'' kata dia.

Sebagai indikator, dia tunjukkan pemanfaatan fasilitas tehnologi informasi yang selama ini sudah dipakai di madrasah negeri dan beberapa madrasah swasta. Misalnya, laboratorium komputer, internet dan lain sebagainya yang menggunakan produk s Iptek. Itupun, tidak hanya pendidikan islam pada level perguruan tingginya. Namun, mulai dari madrasah ibtidaiyah hingga tasnawiyah dan aliyah.

Bahkan, pendidikan tinggi Islam seperti UIN Jakarta sudah menjain kerja sama dengan Kementrian Menkominfo dalam pemanfaatan ICT. Makanya, dia merasa heran jika ada yang menyarankan perlunya pendidikan Islam membuka diri terhadap perkembangan. Sebab, pendidikan Islam dikatakan sudah lama membuka diri pada perkembangan dan kemajuan Iptek.

Meski begitu, dia mengakui dan menyadari bila kebijakan membuka diri seluas-luasnya pada perkembangan itu bakal ada eksesnya. ''Ya, soal dampak pasti ada dari pemanfaatan ICT itu. Tapi, kami sudah mengantisipasi dengan memproteksi lewat agama. Sehingga bisa ditangkal dengan sendirinya oleh masing-masing anak,'' katanya.

Selain mengantisipasi ekses itu lewat agama, kata dia, juga menggunakan alat penyaring. Alat ICT yang dipakai di madrasah-madrasah itu sudah dilengkapi dengan alat proteksi dari hard ware. Sehingga, kalau ada anak atau siswa yang membuka situs-situs tidak bermanfaat, maka komputer yang digunakan akan langsung mati dengan sendirinya.

Kendati demikian, diakui dia, bila sampai saat ini masih belum semua madrasah memanfaatkan perkembangan ICT. Sebab, pemanfaatan ICT di madrasah swasta sangat tergantung pada kemampuan intitusi pendidikan yang bersangkutan. ‘’''Tapi, untuk madrasah negeri 100 persen sudah memanfaatkan ICT. Itu artinya mereka sudah membuka diri terhadap perkembangan Iptek,'' tegasnya.

Sedangkan swasta memang masih banyak. Sebab, jumlah sekolah negeri itu hanya sekitar 8 persen dari total madrasah di Indonesia yang mencapai sekitar 40 ribuan. Sementara 92 persennya atau sekitar 36 ribu merupakan madrasah swasta. Karena itu, dia berharap ada ke[pedulian dari semua kalangan agar anak-anak madrasah yang ada di desa-desa itu bisa memanfaatkan fasilitas ICT itu dengan baik.

Mengenai perlunya pendidikan madrasah membuka diri terhadap perkembangan Iptek itu, juga diakui pakar pendidikan, Prof Dr Arief Rahman. Dia mengatakan bila pendidikan di Indonesia akan baik jika membuka diri terhadap perkembangan ICT itu.

‘’Kalau madrasah menurut saya sudah membuka diri, meski masih belum terlalu terbuka menerima perkembangan. Itu karena madrasah ada sejarahnya, yakni untuk memperkuat pengetahuan dan agama,’’ katanya.

Karena itu, kata dia, untuk saat ini memang madrasah masih menata diri bahkan sedang membuka diri menerima perkembangan kemajuan Ict. Soal ekses negatifnya, diyakini dia, sudah ada saringannya.

Sedangkan yang berkaitan dengan lembaga pendidikan pesantren, dikatakan sangat tergantung pada pengelolanya. Alasan dia, pesantren itu merupakan pendidikan nonformal. Sehingga, pemerintah hanya bisa menghimbau agar membuka diri untuk menerima perkembangan dan kemajuan jaman. aji/bur/kpo

Red: Republika Newsroom
Republika OnLine, Senin, 05 Oktober 2009, 19:13 WIB

Source URL : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/09/10/05/80241-lembaga-pendidikan-islam-tak-bisa-menutup-diri

Lanjut membaca “Lembaga Pendidikan Islam tak bisa Menutup Diri”  »»

Pendidikan Islam Harus Bangun Karakter

Bisa diwujudkan melalui penggabungan nilai agama dan kemanusiaan.

TANGERANG - Pendidikan Islam harus mampu membangun karakter yang berdasarkan nilai spiritualitas, semangat cinta bangsa, dan kemanusiaan. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, menuturkan, ketiga hal itu merupakan inti dan tujuan penyelenggaraan pendidikan.

Namun, Komaruddin mengungkapkan, pendidikan Islam belum berhasil menggarap pembangunan karakter. "Mestinya, pendidikan bukan hanya menitikberatkan pada materi pelajaran," katanya saat membuka Konferensi Internasional Fethullah Gulen dengan tema The Gulen Model of Education di Ciputat, Tangerang Selasatan, Rabu (20/10).


Agar pendidikan Islam meningkat mutunya dan berhasil membangun karakter, perlu pengembangan kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Ia yakin dengan bermodalkan hal itu kontribusi umat Islam bagi kelangsungan hidup manusia akan semakin diperhitungkan dunia.

Selain itu, menyiapkan para pendidik yang kompeten dan berkualitas menjadi hal penting lainnya yang ia tekankan. Tenaga-tenaga pengajar di lembaga pendidikan Islam mesti lulusan terbaik dari kampus-kampus yang ada sehingga akan menghasilkan alumni yang mampu bersaing.

Lebih lanjut, terlepas dari sejumlah kekurangan yang ada, ia menilai bahwa secara umum pendidikan Islam, termasuk di Indonesia, mengalami kemajuan. Buktinya, sekolah-sekolah Islam unggulan banyak bermunculan. "Kondisi tersebut didukung meningkatnya kajian Islam," katanya.

Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Amin Abdullah, mengemukakan bahwa pendidikan Islam harus mampu menggabungkan tiga hal penting, yaitu peningkatan kemampuan, pengembangan wawasan dan ilmu pengetahuan, serta pembentukan karakter. "Pendidikan butuh orientasi jelas," ujarnya.

Jika tidak, lembaga pendidikan Islam sulit mencetak kader agama yang memberikan konstribusi bagi umat manusia. Ia melontarkan kritik terhadap pendidikan Islam di Indonesia, yang dinilainya belum mengakomodasikan ilmu pengetahuan modern. Juga belum memperhatikan kepekaan anak didik terhadap masalah sosial, budaya, dan kemanusiaan.

Akibatnya, generasi-generasi muda tidak memiliki kepedulian sosial dan rasa tanggungjawab dalam memberikan solusi pemikiran dan karya nyata terhadap persoalan umat. Meski terdapat pondok pesantren, ujar Amin, namun pelaksanaan nilai luhur agama di lembaga dengan konsep boarding school itu belum maksimal.

Padahal, semestinya kesempatan menginap tersebut digunakan sebagai ajang penempaan disiplin dan eksplorasi keilmuan Islam dari berbagai disiplin. Amin mengatakan, berbeda dengan sekolah Gulen, Turki, misalnya, yang tidak hanya fokus pada pembelajaran agama, tetapi juga menekankan ilmu pengetahuan, budaya, sosial, dan kemanusiaan.

Teladan

Guru Besar Studi Agama dan Teologi Universitas Monash, Australia, Salih Yucel, memaparkan, dalam konsep Islam, pendidikan melibatkan tiga elemen yang disebut sebagai segi tiga pendidikan, yaitu orang tua, murid, dan guru. Segi tiga ini mempunyai peran dan keterkaitannys masing-masing.

Komunikasi antarketiga elemen ini sangat penting. Di samping memang, keberhasilan pendidikan terletak pada guru sebagai tenaga pengajar dan pendidik sekaligus. Guru dituntut menjadi teladan yang baik bagi peserta didik. "Nilai agama turut menyumbang keberhasilan pendidikan Islam," tuturnya.

Inilah yang melatarbelakangi pentingnya role model tentang konsep ideal pendidikan Islam. Penerapan nilai keislaman seperti yang diajarkan Nabi Muhammad merupakan visi pendidikan Islam. Yang meliputi kecerdasan, kepercayaan, keteladanan, kejujuran, dan ketaatan. cr1 ed: ferry kisihandi


Sumber : Republika, Kamis, 21 Oktober 2010

Lanjut membaca “Pendidikan Islam Harus Bangun Karakter”  »»