Senin, 26 April 2010 pukul 11:29:00
Buku dianggap sebagai hiburan bagi pikiran dan teman terbaik.
Dyah Ratna Meta Novia
Sebuah pujian terlontar dari mulut Ibnu Arabi. Pujian itu bukan berupa kekaguman terhadap kecantikan seseorang atau ketakjuban pada keindahan sebuah bentangan alam. Pujian dari ilmuwan Muslim ternama ini disematkan pada buku yang dianggap sebagai teman terbaik.
Menurut Ibnu Arabi, buku tak akan membuat seseorang menjadi bosan. Ia mengatakan, buku pun mengajarkan masa lalu dengan bukti-bukti kuat, akhlak yang baik, dan nasihat yang bagus. Ia mengatakan, buku-buku itu melakukannya tanpa rasa takut dan tak dengan sikap memusuhi.
Menghimpun ilmu dalam sebuah buku memang telah mentradisi. Hal ini dilakukan para ilmuwan Muslim untuk melestarikan ilmu yang ia kuasai. Lalu, buku itu menjadi rujukan bagi orang-orang yang sezaman ataupun penerus mereka. Pada masa Islam, kecintaan terhadap buku terlihat begitu besar.
Kecintaan itu seperti yang ditunjukkan Ibnu Arabi dalam pujiannya terhadap buku. Banyak kalangan telah memiliki kesadaran akan pentingnya buku. Mereka adalah para cendekiawan, ahli fikih, ataupun para pejabat tinggi dan masyarakat lainnya.
Selain Ibnu Arabi, para ahli fikih sangat suka memiliki beragam buku. Koleksi buku mereka tak melulu soal agama. Mereka pun memiliki buku-buku filsafat dan kalam. Mereka mendalaminya untuk memperluas cakrawala pengetahuan saat kelak berhadapan dengan para filsuf.
Sebenarnya, sejumlah ahli fikih ada yang melarang buku-buku filsafat, terutama untuk diajarkan di sekolah-sekolah agama. Sebab, mereka menilai, pemikiran filsafat ada yang bertentangan dengan agama. Namun, mereka mengoleksi dan mengkajinya.
Selain itu, mereka mengakui, dari sisi metodologi dan substansi, buku-buku kajian filsafat itu bermanfaat. Mereka juga memuji sejumlah siswa yang telah mencapai tingkat pemahaman agama yang tinggi, lalu melakukan kajian terhadap buku-buku filsafat.
Bahkan, menurut Goerge A Makdisi dalam Cita Humanisme Islam, seiring berjalannya waktu, para ahli fikih itu berkutat dengan pemikiran filsafat dan logika Yunani. Mereka adalah para intelektual ternama, seperti Ibnu Aqil, Al Ghazali, Al Amidi, Fakhr al-Din al Razi, Ibnu Taymiyah, dan Al Tufi.
Soal buku, seorang ilmuwan bernama Ibnu Durayd menyatakan, buku merupakan penghibur bagi pikiran. Suatu hari, ia menghadiri sebuah pertemuan. Sejumlah orang dalam pertemuan itu menyampaikan beberapa tempat yang dianggap sebagai tempat indah dan menyenangkan.
Di tengah lontaran pernyataan, Durayd menyampaikan pendapatnya. Ia menyatakan, tempat-tempat itu hanyalah hiburan untuk mata. Namun, pikiran yang ingin dihibur dapat berpaling pada buku. Lalu, ia menyebutkan tiga buku favoritnya yang layak sebagai penghibur pikiran.
Buku-buku itu, kata Durayd, adalah Uyun Al Akhbar atau Kisah Pilihan karya Ibnu Qutaybah, Kitab Al Zahra atau Buku tentang Bunga karya Muhammad ibn Dawud, dan Qalaq Al Musytaq atau Kegelisahan karena Rindu yang ditulis oleh Ahmad Ibnu Abi Thahir.
Bahkan, ada kisah yang dikutip George A Makdisi dari seorang ilmuwan bernama Al Tawhidi terkait masalah buku ini. Ini soal langkah yang dilakukan Al Hasan Ibnu Ustman Al Qatari. Waktu itu, Al Qatari memutuskan menguburkan buku-buku yang dimilikinya sebab ia ingin menjalani kehidupan sufi.
Lalu, Al Qatari bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat Nabi Muhammad di sebuah masjid sedang membagi-bagikan batang pena yang menebarkan bau harum. Namun, ia tak diberi batang pena itu. Ia pun bertanya kepada Nabi SAW, mengapa ia tak mendapatkan bagian.
Nabi SAW menjawab, bagaimana ia akan memberikan batang pena tersebut kepada Al Qatari yang telah menguburkan ilmu-ilmu yang telah diwariskan Nabi SAW. Bahkan, seorang perdana menteri pun merasakan kebahagiaan saat menerima hadiah sebuah buku.
Saat turun dari kapal yang mengantaran cendekiawan Jahiz dari Bashrah ke Baghdad untuk mengunjungi Perdana Menteri Ibnu Al Jayyat, ia mendengar seseorang berteriak nyaring mengumumkan adanya pelelangan buku karya seorang filsuf Al Farra.
Sayang, ketika tiba di tempat pelelangan, tak ada lagi salinan buku yang dianggap berharga dan pantas diberikan kepada perdana menteri yang juga seorang sastrawan itu. Kemudian, pelelang mengambil sebuah buku yang disimpannya, yaitu karya ahli bahasa Sibawayh yang berjudul Al Kitab. Sang perdana menteri pun bahagia.
Kekayaan untuk buku
Atas kecintaan terhadap buku, sejumlah kaum terpelajar membelanjakan harta dan warisannya demi menambah koleksi bukunya. Sebut saja ahli bahasa, Ibnu Al Kui, yang meninggal pada 959 Masehi. Saat masih hidup, ia mendapatkan warisan harta sebesar 50 ribu dinar.
Ia tak tergiur untuk menghamburkan hartanya untuk kesenangan ragawi. Namun, ia memilih menggunakan hartanya untuk keperluan belajar dan membeli buku. Ia membeli buku yang ia inginkan demi menambah koleksi buku yang berjajar di perpustakaan pribadinya.
Di sisi lain, ada Abu Bakar Ibnu Jarrah. Ia mengikuti jejak gurunya, Ibnu Durayd, yang gandrung terhadap buku. Ia menjadi seorang sastrawan yang sangat kaya raya. Ia sempat mengumumkan kekayaannya. Salah satunya adalah koleksi buku yang nilainya mencapai 10 ribu dirham. ed: ferry
Merebaknya Perpustakaan
Merebaknya kecintaan terhadap buku, melahirkan banyak perpustakaan. Ada perpustakaan umum tapi banyak pula milik pribadi. Tak sedikit, kaum cendekiawan yang berburu buku. Lalu, mereka menempatkannya di sebuah ruang khusus yang akhirnya menjelma menjadi perpustakaan.
Banyak buku yang menjadi koleksi mereka merupakan buku salinan. Sebab, saat itu percetakan belum berkembang. Perpustakaan yang berawal dari koleksi buku di antaranya adalah perpustakaan milik Bulmuzaffar Ibnu Mu'arrif, seorang sastrawan dan filsuf.
Bulmuzaffar dikenal sebagai kolektor buku, juga seorang pembaca sekaligus penyalin buku yang sangat tekun. Penulis biografi dan ahli logika, Sadid Al Din, menggambarkan ruangan di dalam rumah Bulmuzaffar yang sangat luas dan dipenuhi ribuan buku. Itulah perpustakaan Bulmuzaffar.
Di ruang perpustakaan miliknya, Bulmuzaffar sering menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan menyalin buku. Dia memiliki koleksi buku dari berbagai macam bidang ilmu pengetahuan dan di setiap halaman depan bukunya tertulis anekdot yang berkaitan dengan isi buku tersebut.
Nama lainnya adalah Mubasysyir Ibnu Fatih, seorang sastrawan dari Mesir. Ia hidup pada masa Khalifah Al Muntashir dari Bani Fatimiyah. Untuk menambah koleksi buku perpustakaannya, ia menulis buku sejarah tentang Khalifah Al Muntashir, yang berkuasa antara tahun 1036 hingga 1094, dalam tiga jilid.
Mubasysyir adalah murid para ilmuwan terkenal seperti Ali Ibnu Ridwan yang ahli di bidang kedokteran, Ibnu Al Haytham dalam bidang astronomi, fisika, dan optik, serta Ibnu Al Amidi yang ahli dalam bidang filsafat. Demikian pula dengan Abu al Hasan Ibnu Abu Jarada.
Ia mengoleksi buku dan kemudian mendirikan perpustakaan. Ia sering pula menyalin sendiri buku-buku berharga yang kemudian menjadi bagian dari koleksi buku di perpustakaan miliknya. dyah ratna meta novia, ed: ferry
Sumber : http://koran.republika.co.id/koran/36/109571/Tradisi_Mengoleksi_Buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar