Jumat, April 30, 2010

Mengikat Ilmu dengan Mencatat

Rabu, 28 April 2010 pukul 10:09:00

Dyah Ratna Meta Novia

Mencatat menjadi bagian penting dalam perkembangan peradaban Islam.


Ikatlah ilmu dengan cara mencatatkannya. Petuah bijak ini telah mengakar dalam diri kaum intelektual Muslim. Mereka yang masih dalam tahap berguru, melengkapi dirinya dengan bak tinta dan buku tulis. Mereka mencatatkan apa yang disampaikan pada lembaran buku catatan.

Perlengkapan ini digunakan baik oleh para mahasiswa sastra dan ilmu lainnya serta mahasiswa ilmu hadis. Goresan dalam lembaran buku catatan dari materi yang diajarkan oleh para kaum cendekia yang menjadi sumber ilmu, membantu para mahasiswa tetap mengingat apa yang mereka sampaikan.


Kisah tentang bak tinta dan buku catatan ini, diungkapkan sejumlah mahasiswa yang sedang mengikuti perkuliahan di luar rumah seorang sastrawan, Tsa'lab. Mereka melihat menantu Tsa'lab, Al Dinawari bergegas menuju ke tempat gurunya, Sibawayh dan Mubarrad, dengan bak tinta dan buku catatan.

Sosok lainnya, Abu Ali Ibnu Al A'la, dikenal memiliki banyak buku catatan yang sarat ilmu pengetahuan. Bahkan, buku catatan yang dimiliknya memenuhi kamarnya hingga ke bagian atap. Ini menunjukkan bahwa tradisi mencatat menjadi bagian penting dalam perkembangan peradaban Islam.

Seorang ahli filologi, Ibnu Faris, mengungkapkan, sejumlah benda yang menjadikan hatinya begitu bahagia. Menurut dia, pendamping setianya adalah kucing, teman karib jiwanya adalah buku catatan yang selalu dibawanya, dan kekasihnya adalah lampu penerang.

Pentingnya membuat catatan ini, ditegaskan pula oleh sastrawan bernama Ibnu Al Allaf, dalam sebuah eulogy, yaitu syair pujian untuk mengenang seseorang yang telah mangkat, Al Mubarrad. Melalui syairnya, ia mengingatkan pula kemungkinan kematian yang segera menjemput, Tsa'lab.

Dalam syairnya itu, ia mengingatkan agar setiap orang mencatat apa yang diucapkan Tsa'lab. Bahkan, ia mengatakan, kalau saja napas Tsa'lab bisa ditulis maka tulislah pula napasnya. Ia menilai, sangat penting untuk mencatat pengetahuan-pengetahuan yang diucapkan dari mulut-mulut para cendekia.

Ilmu mereka, jelas Al Allaf, sangat berharga. Ia pun menegaskan agar seorang pencari ilmu tak berhenti pada mencatat. Hal lain yang perlu dilakukan adalah mengingat apa yang ada di dalam catatan. Tak heran jika ia mencela orang yang hanya puas dengan catatan yang dimilikinya tanpa berusaha mengingatnya.

Dalam syairnya Al Allaf mengatakan, ''Ia menyimpan ilmu di atas hela-helai kertas, ia kehilangan ilmunya. Memang, lembaran kertas adalah pemelihara ilmu yang buruk.'' Ia mengandaikan, kekayaan seseorang adalah hasil kerja keras tubuhnya. Sedangkan hafalan seseorang adalah hasil kerja keras jiwanya.

Dalam pandangan Al Allaf, langkah seseorang memelihara ilmu pengetahuan dengan cara menghafal memiliki arti bahwa orang itu telah memelihara jiwanya. Dan bagi Muslim, menghafalkan pengetahuan yang tergores dalam lembaran-lembaran buku catatan seolah sebuah kewajiban tak berkesudahan.

Bahkan, saat umur seseorang telah mencapai senja. Ini, terjadi pada sosok Tsa'lab. George A Makdisi dalam Cita Humanisme Islam, menyatakan, suatu saat Tsa'lab yang telah berusia 90 tahun, sedang dalam perjalanan pulang dari masjid selepas menunaikan shalat Ashar.

Tsa'lab menyusuri jalan pulang sambil membaca buku catatannya. Akibat tenggelam dalam bacaan pada buku catatan dan tingkat pendengarannya yang sudah banyak kurang, ia tak menyadari adanya sebuah kereta yang melaju ditarik keledai. Kereta itu pun menabraknya dengan keras.

Selain itu, buku catatan ini tak hanya untuk menuliskan apa yang didiktekan tokoh-tokoh besar dalam bidang ilmu pengetahuan. Buku catatan digunakan sebagai alat untuk mendokumentasikan pengamatan dan penelitian yang dilakukan para ilmuwan.

Bahkan, ada seorang cendekiawan yang dengan waspada menjaga catatan dari hasil penelitiannya itu agar tak disalahgunakan orang. Salah satunya adalah Abu Musa Al Hamid, pakar tata bahasa yang meninggal pada 918 Masehi. Sebelum meninggal, ia menuliskan wasiat terkait buku catatan yang dimilikinya.

Dalam wasiatnya, Al Hamid menginginkan agar buku-buku catatan miliknya itu diserahkan kepada Fatik Al Mu'tadidi, seorang budak yang telah dimerdekakan. Saat itu, Fatik telah menjadi panglima militer pada masa Khalifah Al Muktafi. Ternyata, Al Hamid ingin agar Fatik menghancurkan buku-buku tersebut.

Soal hasil penelitian yang dituliskan dalam buku catatan, Tsa'lab pernah memberikan pujian pada catatan milik Ishaq Al Mawshili, mengenai makna-makna kata yang pernah didengarnya. Ishaq mendengarkan secara seksama dan mencatat ucapan para anggota suku-suku Arab tempat ia melakukan penelitian.

Menurut Tsa'lab, dia tak pernah melihat banyaknya dan ketelitian catatan selain yang ada di rumah Ishaq. Catatan mengenai bahasa-bahasa yang diucapkan suku-suku Arab itu sangat lengkap. Selain di rumah Ishaq, ia memuji pula berlimpahnya buku catatan yang ada di rumah filsuf Muslim ternama, Ibnu Arabi.
Melalui buku-buku catatannya itu, Ibnu Arabi mendapatkan banyak ilmu dan mencatatkan pemikirannya. Dengan ilmunya yang berlimpah, Ibnu Arabi muncul sebagai figur sentral dan menjadi rujukan. ed: ferry


Membuat Indeks

Ada banyak terobosan yang dilakukan intelektual Muslim. Langkah mereka yang mewarnai perkembangan peradaban Islam, tak hanya berhenti pada kegiatan mencatat dan buku catatan. Mereka mampu pula membuat indeks yang salah satu manfaatnya adalah untuk penghimpunan hadis.

Melalui indeks, penghimpunan hadis shahih dengan mudah dilakukan. Ini pun memudahkan kerja bagi para mahasiswa hukum untuk menyusun hadis-hadis tersebut berdasarkan kandungan hukum yang ada di dalam hadis. Ini tak hanya berguna bagi para mahasiswa hukum, tetapi juga mereka yang mengkaji bidang lain.

Sayangnya, pembuatan indeks ini tak berkembang lebih jauh. Sebab, tak ada dorongan yang kuat dari kalangan intelektual Muslim untuk mengembangkannya lebih serius. Sistem indeks ini, hanya berkembang ala kadarnya meski memberi manfaat besar.

Alasannya, mereka berpikir bahwa pencapaian ideal seorang ilmuwan adalah menguasai muatan ilmu pengetahuan dalam otaknya. Layaknya seorang ahli musik yang akan mendapat pujian dan diakui sebagai musisi yang andal jika mampu memainkan musik dengan sangat baik.

Dengan demikian, mereka beranggapan bahwa pengembangan indeks secara lebih jauh, tak akan membantu mereka mencapai posisi tersebut. Maka, lambat laun mereka meninggalkan langkah rintisan yang telah mereka buat sendiri. Lalu, tak ada lagi perkembangan yang sangat berarti dalam bidang ini. dyah ratna meta novia, ed: ferry

Sumber : http://koran.republika.co.id/koran/36/109737/Mengikat_Ilmu_dengan_Mencatat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar