Senin, Agustus 30, 2010

Pendidikan Karakter dari Guru Berkarakter

Pendidikan akhlak dan karakter harus dilakukan dengan kebiasaan.

Dering telepon berbunyi di rumah-rumah siswa SD Al-Hikmah Surabaya sesaat setelah azan Subuh berkumandang. Itu merupakan tugas tiap wali kelas mengawali kegiatan rutin sekolah.

Begitu jam masuk kelas akan tiba; kepala sekolah, wali kelas, dan guru sudah berdiri di depan sekolah menyambut siswa-siswanya dengan mengucap salam. Para siswa juga menyapa satu sama lain dan mengucap salam.

Aktivitas kemudian dilanjutkan di ruang kelas. Seorang anak memimpin doa untuk mengawali kegiatan di dalam kelas. Sebelum mulai aktivitas belajar mengajar, guru membangun diskusi ringan dengan siswa, dilanjutkan dengan berinfak (memberikan sumbangan sukarela untuk orang tidak mampu). Tiap siswa memasukkan uang infak ke dalam kotak amal yang ada di tiap kelas.


Sampai waktu istirahat siang hari, seluruh siswa dengan spontan berhamburan ke masjid di lingkungan sekolah untuk shalat Zuhur berjamaah. Setelah itu, siswa dengan tertib masuk ke ruang makan. Setiap hari, sekolah memang menyediakan makan siang.

Selain belajar, para siswa di sekolah ini juga melakukan kegiatan di luar kelas, antara lain olahraga, merawat tanaman, dan merawat binatang. Ada juga kegiatan yang terprogram (ekstrakulikuler), antara lain business day, cooking class, pameran lukisan, dan berbagi infak dengan sesama.

Percontohan

Pembina Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Al-Hikmah Surabaya, Abdul Kadir Baraja, mengatakan, yayasan yang dipimpinnya bertujuan mengedepankan lahirnya generasi berakhlakul karimah dan berprestasi akademis optimal.

Dia mengatakan, Al-Hikmah Surabaya adalah sekolah Islam berbasis pendidikan karakter. Hingga kini, keberadaan sekolah ini menjadi percontohan bagi penerapan pendidikan karakter di Surabaya. “Saya senang karena sekolah Islam menjadi panutan dalam pendidikan karakter,” ucapnya.

Lelaki paruh baya itu menyadari betapa pentingnya akhlak dan karakter yang baik perlu ditanamkan sejak dini. Karena itu, nilai-nilai akhlak dan karakter harus ditanamkan melalui kegiatan rutin harian. “Pendidikan akhlak dan karakter harus dilakukan dengan kebiasaan,” ujar Abdul Kadir di Surabaya, beberapa waktu lalu.

Menurut Abdul Kadir, akhlak dan karakter sudah tertanam pada diri siswa bila sudah mempunyai kesadaran berperilaku baik dan bertanggung jawab pada diri sendiri. Dia mengatakan, terkadang siswa curhat kepada guru bahwa mereka yang selalu menasihati orang tua untuk shalat.

Itu karena di sekolah sudah ditanamkan akhlak dan karakter melalui pembiasaan dan kegiatan rutin. “Kalau anak sudah shalat tanpa disuruh, itu karakter,” kata pria berwajah Arab itu.

Dengan kesadaran berakhlak dan berkarakter baik, siswa memiliki tanggung jawab untuk menuntut ilmu dengan serius. Tak mengherankan, kata Abdul Kadir, sebagian besar lulusan siswa Al-Hikmah dapat masuk ke sekolah negeri favorit. “Kunci terpenting ada pada guru yang berkompeten,” kata dia.

Abdul Kadir mengungkapkan, biaya termahal dalam pengelolaan sekolah di Al-Hikmah Surabaya adalah pelatihan guru. Hal itu dianggap penting dilakukan untuk mendidik guru yang berkarakter.

Dari guru

Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Muchlas Samani, berpandangan senada. Menurut Muchlas, pendidikan karakter di sekolah harus dimulai dari guru yang berkarakter.

Muchlas mengungkapkan, pendidikan karakter di Indonesia sudah sangat mendesak, mengingat serentetan persoalan moral yang kerap terjadi di kalangan pelajar. Contohnya, tawuran, plonco, tidak sopan kepada guru, dan pergaulan bebas.

Karena itu, pendidikan karakter dapat menjadi kunci perbaikan persoalan tersebut. “Pendidikan karakter bukan barang baru. Implementasinya saja belum maksimal,” ujar Muchlas.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan (SKL-SP) Dasar dan Menengah, ditegaskan bahwa SKL-SP dikembangkan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan.

Secara umum, kata Muchlas, lulusan satuan pendidikan dasar yang meliputi SD/SMP (sederajat) dan pendidikan menengah meliputi SMA/SMK (sederajat) bertujuan meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, dan akhlak mulia.

Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), jelas Muchlas, memberikan pendidikan karakter kepada para pendidik untuk mewujudkan agenda nasional tersebut. Setiap tahun, sebanyak 70 ribu guru akan diasramakan di perguruan tinggi negeri (PTN) guna mendalami pendidikan karakter.

Selain itu, dalam pola baru yang diterapkan tahun ini, para calon guru yang sudah lulus S1 harus mengikuti pendidikan profesi guru selama satu tahun.

Muchlas mengatakan, pemberian materi pendidikan karakter tidak bisa ditransfer seperti umumnya kuliah. Melalui sistem asrama, teori pendidikan karakter dapat secara langsung dipraktikkan secara terus-menerus. “Jadi, setahun penuh tinggal di asrama. Berbagai kebiasaan perilaku baik ditumbuhkan,” ujarnya.

Sebagai salah satu penggagas pendidikan karakter, Muchlas mengatakan, PTN yang akan menampung 70 ribu guru adalah perguruan tinggi yang mengadakan program pendidikan guru, seperti Unesa dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Sampai saat ini, ada 324 perguruan tinggi yang mengadakan program pendidikan karakter guru.
Program asrama, jelas Muchlas, diberikan melalui program beasiswa. “Setelah diasramakan, ada ikatan dinas sehingga guru dapat disebar di daerah yang kurang guru,” tuturnya.

Meskipun jumlah guru yang akan diasramakan hanya 70 ribu guru atau 2,5 persen dari jumlah guru sebesar 2,6 juta orang, diharapkan secara bertahap hal itu akan bermanfaat bagi pengembangan pendidikan karakter. Nantinya, dalam 10 tahun, akan ada 10 guru yang menjadi agen pendidikan karekter.

Sementara itu, pendidikan karakter di tingkat perguruan tinggi ditumbuhkan dengan budaya kampus. Memang, kata Muchlas, karakter itu harus ditumbuhkan melalui kebiasaan dan dibudidayakan, sebagaimana diterapkan di SD Al-Hikmah Surabaya. n c06, ed: burhanuddin bella


Sumber : Republika , Rabu, 25 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar