Selasa, Juni 01, 2010

Sulitnya Akses Siswa Miskin

Rabu, 26 Mei 2010 pukul 10:32:00

Tidak maksimalnya dana pendidikan lantaran kurangnya akuntabilitas pengelolaan biaya, terutama di sekolah.


Ade Irawan, dari Divisi Monitoring dan Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), punya catatan betapa sulitnya anak-anak dari keluarga miskin mendapatkan akses pendidikan yang baik. Tak sebatas biaya, menurut Ade, tetapi mereka pun kerap kali terbentur dalam hambatan administratif.

Sebutlah, misalnya, soal akta kelahiran atau kartu keluarga-hal yang banyak di antara mereka tak memilikinya. "Bahkan, banyak sekolah yang mensyaratkan masuk sekolah dasar (SD) hanya punya ijazah Taman Kanak-Kanak (TK)," tutur Ade dalam seminar "Akuntabilitas Sekolah: Solusi Alternatif untuk Menjamin Akses Siswa Miskin terhadap Pendidikan Dasar Bermutu di Jakarta", belum lama ini.

Sayangnya, menurut pengamatan Ade, semua hambatan itu tidak disingkirkan. Yang terjadi justru pemerintah mencari jalan sendiri dengan membuat sekolah berstandar internasional (SBI) ataupun sekolah percontohan.


Dari semua itu, menurut Ade, masalah biaya menjadi hambatan terbesar. Dia menyebut dua faktor yang menyebabkan biaya sekolah menjadi mahal. Pertama, anggaran dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat kecil. "Walau bantuan operasional sekolah (BOS) ditingkatkan, tetap saja alokasinya tidak mencukupi," tuturnya.

Hambatan kedua adalah soal tata kelola yang berkaitan dengan korupsi. Sekolah-yang disebutnya sebagai muara dari anggaran-dalam pengamatan Ade, tata kelolanya sangat buruk. "Mereka selalu beralasan, ini rahasia negara," ucapnya.

Ade mencontohkan soal anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS). Dia mengaku kerap bertanya ke sekolah soal hal tersebut, tapi umumnya tidak diberi jawaban. Bahkan, menurut dia, guru saja tidak tahu.

Problem tata kelola di sekolah, sambung Ade, terjadi karena posisi kepala sekolah sangat dominan. Kepala sekolah yang membuat semua kebijakan, termasuk anggaran.

Di sisi lain, posisi guru dan orang tua lemah sehingga kebijakan penganggaran sekolah dibuat sepihak. "Intinya, kebijakan anggaran di sekolah tertutup. Begitu juga ketika kami datang ke Diknas, mereka tertutup," katanya.

Menurut Ade, soal akuntabilitas bukan kepada guru dan siswa saja, tetapi juga kepada kepala dinas pendidikan di tiap daerah yang menjadi problem. Selain tidak ada aturan yang jelas mengenai APBS, komite sekolah dan guru pun dinilainya tidak punya kemampuan menyusun APBS.

"Saya sering mengecek APBS sekolah, itu dibuat secara sederhana saja," ucapnya. Dengan kondisi ini semua, kata dia, sangat mudah terjadinya pelanggaran. Uangnya tidak terserap dengan baik.

Akuntabilitas

Ilham Cendekia, direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) sepandangan dengan Ade Irawan. Ilham mengatakan, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan (UU Sisdiknas) dijelaskan, warga negara berhak mendapatkan pendidikan gratis dan bermutu.

Kenyataannya, menurut dia, akses sekolah bermutu bagi rakyat miskin sangat kecil. Di sisi lain, ada kebutuhan yang spesifik diderita anak-anak dari keluarga miskin: selain membutuhkan dana pendidikan, dana seperti transpor juga belum ter-cover.

Ilham melihat angka 20 persen alokasi anggaran untuk pendidikan telah tercapai. Sayangnya, kata dia, terjadi masalah seperti kebocoran anggaran, alokasi yang tidak tepat, mark-up, serta dibelanjakan tidak sesuai peruntukan. "Terakhir soal tidak efisien, yakni problem akuntabilitas," dia menuturkan.

Faktor efisiensi dan akuntabilitas, kata Ilham, menjadi penting bagi terciptanya model pendidikan. Menurut dia, akuntabilitas menciptakan kepercayaan. "Sebagus apa pun suatu sistem bila ketidakpercayaan timbul akan ambruk juga," tuturnya dalam seminar yang sama.

Peningkatan kualitas pendidikan selama ini, sambung Ilham, kurang mendapat perhatian sehingga banyak sekolah yang memungut sumbangan dari orang tua siswa dengan alasan meningkatkan kulitas pendidikan. Ilham menilai, untuk membangun akuntabilitas sekolah, ada tiga pihak yang harus terlibat: orang tua siswa, pemerintah, dan sekolah.

Dia berpandangan, sebetulnya ada keinginan kuat dari pemerintah untuk melakukan akuntabiltas langsung dari sekolah kepada masyarakat. Tapi, ada problem karena ternyata yang langsung juga tidak lebih pendek dari yang tidak langsung. "Problem akuntabilitas aliran 20 persen ke sekolah itu rumit, pembagian wewenang yang tidak clear," jelasnya.

Di sisi lain, menurut dia, masalah dalam dana alokasi khusus (DAK) yang tidak memiliki standar operasional prosedur (SOP) jelas dan bisa dipantau. Sebab itu, terciptalah gap yang sangat besar antara sekolah dalam kemampuan memperolah DAK, di samping adanya proses pengalokasian dana yang tidak terbuka.

Soal pelaporan ini, kata dia, dianggap rumit oleh sekolah. Akibatnya, sekolah lebih mementingkan laporan itu sendiri dibandingkan isi laporan. Terlebih lagi, masyarakat belum memiliki ruang untuk melakukan monitoring.

Karena itu, Ilham menuturkan, perlu dilakukan perbaikan akuntabilitas. Perbaikan membutuhkan empat syarat: perbaikan proses pemberian mandat, perbaikan sistem enforcement, kapasitas partisipasi, dan pertumbuhan sistem monitoring.

Tidak cukup

Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-di antaranya membidangi pendidikan-Hetifah Siswanda, melihat meski anggaran pendidikan 2010 sebesar Rp 209 triliun, jumlah itu selalu tidak cukup dan biaya pendidikan justru semakin melambung. Bahkan, dengan biaya selangit, kata dia, prestasi pendidikan semakin merosot, tecermin melalui ujian nasional (UN).

Menurut Hetifah, tidak maksimalnya dana pendidikan untuk menjamin siswa miskin, juga lantaran kurangnya akuntabilitas dalam pengelolaan biaya pendidikan, terutama di sekolah. "Makanya, kita harus menemukan model bagi pola pembiayaan," tegasnya.

Dalam akses bagi rakyat miskin, Hetifah merasakan timbulnya kesenjangan baru dalam dunia pendidikan. Dia mencontohkan, munculnya sekolah bertaraf internasional. Menurut dia, ini masalah baru karena jelas sekolah ini hanya akan terjangkau mereka yang punya uang.

"Kita juga mendesak di DPR supaya sekolah bertaraf internasional itu ada, tapi dibangun baru sehingga tidak mengurangi sekolah yang sudah ada, yang bisa diakses rakyat miskin," jelasnya.

Apa yang diutarakan Ilham juga Hetifah seakan menguatkan catatan Ade Irawan: betapa sulitnya anak-anak dari keluarga miskin mendapatkan akses pendidikan yang baik. c06, ed: burhanuddin bella


Ditemukan Banyak Pelanggaran

Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 mensyaratkan, setiap warga negara berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Sesuai UU itu, menurut Binsar Marpaung, dari Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program ini.

Soal biaya pendidikan, jelas Binsar, sebagaimana diatur dalam PP No 48, dibagi menjadi tiga: biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraan pengelolaan pendidikan, dan biaya pribadi peserta didik.

Biaya satuan pendidikan terdiri atas biaya investasi, penyediaan sarana, pengembangan SDM, dan maintenance. Sedangkan, biaya operasi meliputi biaya personalia dan nonpersonalia, sementara biaya bantuan pendidikan berupa dana bantuan pendidikan yang diberikan kepada peserta didik.

Dana BOS, kata dia, terkait dengan biaya pendidikan gratis. Namun, dia menuturkan, prinsip dasar gratis tidak berarti semua jenis biaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah. Sebab, ada juga biaya pendidikan yang dibutuhkan oleh sekolah dan ada biaya pribadi yang menjadi tanggung jawab masyarakat.

Dalam kebijakan itu, lanjut Binsar, siswa miskin dibebaskan biaya penyelenggaraan pendidikan, baik negeri atau swasta, kecuali siswa SBI. Dia mengatakan, kebijakan pendidikan gratis ini tidak melarang adanya sumbangan sukarela dari masyarakat mampu kecuali sumbangan itu ditentukan jumlah dan waktunya. "Jadi pengertiannya, ini tidak semua gratis penuh," jelasnya.

Bagaimana pengawasan? Binsar menyatakan, pengawasan yang dilakukan selama ini memang ditemukan banyak pelanggaran, terutama dalam hal manajemen pengelolaan dana BOS. Dia juga menyatakan telah menyampaikan tata cara penggunaan dana BOS dalam bentuk buku dengan harapan bisa mengurangi penyimpangan.

Karena itu, dia membuka tangan bagi pihak lain untuk ikut melakukan pengawasan. "Kami terus terang masih perlu bantuan pihak lain," tutur Binsar dalam seminar "Akuntabilitas Sekolah: Solusi Alternatif untuk Menjamin Akses Siswa Miskin terhadap Pendidikan Dasar Bermutu" itu. c06

Sumber :http://koran.republika.co.id/koran/35--sulitnya akses siswa miskin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar